Kalau orang Jawa itu punya yang namanya jarwa dhasa atau kerata basa. Sederhananya, sebuah kata dijadikan akronim dari serangkaian kata yang menjelaskan arti kata itu sendiri. Misalnya piring-yen ngelapi karo miring (jika mengelap sambil diposisi miring), kursi - disingkur ora diwasi (jika duduk pasti dibelakangi, tidak dilihat), guru - digugu lan ditiru (dianut dan diteladani), dll. Dalam tulisan ini saya coba akan membahas tentang mulut, yang dalam bahasa Jawa kasar disebut cangkem. Dalam jarwa dhasa, cangkem diartikan yen ora dicancang ora iso mingkem - jika tidak diikat maka tidak akan bisa diam.
Kata cangkem digunakan untuk tingkatan rendah dalam strata tatanan
bahasa Jawa. Kata cangkem bisa digunakan untuk menyebut mulut orang yang
derajatnya dianggap rendah seperti maling, rampok, begal, bahkan mulut
binatang. Sedangkan untuk tingkatan yang lebih tinggi bisa digunakan diksi yang
lebih halus yaitu lambe, lesan, atau tutuk. Dari sini bisa
dipahami bahwa filosofi makna cangkem diperuntukkan bagi kalangan bawah
yang dianggap memiliki derajat rendah. Orang yang derajatnya rendah adalah
orang yang kurang memiliki wawasan, kebanyakan orang yang kurang memiliki
pengetahuan akan banyak bicara, sedangkan isi dari pembicaraannya hampir atau
bahkan sama sekali tidak bermanfaat. Dari kata cangkem muncul ungkapan
kasar yang berbunyi “ojo kakean cangkem”, yang artinya jangan banyak mulut-bicara.
Bagi orang yang memiliki kasta lebih tinggi, maka ungkapan ojo kakean
cangkem diperhalus menjadi Ajine dhiri saka lathi – terhormatnya diri
bergantung kepada mulut (ucapan). Penggunaan falsafah ini diajarkan kepada
mereka yang mengenyam pendidikan, utamanya pendidikan sastra. Kaum
berpendidikan diharapkan dapat menjaga kehormatan ilmu yang ada dalam dirinya
dengan cara menjaga ucapannya.
Ajaran untuk menjaga ucapan adalah salah satu ajaran dalam setiap agama.
Dalam agama Islam dijelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW sangat khawatir terhadap
umatnya manakala umatnya tidak menjaga ucapannya. Adalah Sufyan bin Abdillah
ats-Tsaqafi, salah satu shahabat Nabi yang pernah minta wejangan kepada beliau.
Nabi Muhammad SAW dengan senyum ramahnya memberikan wejangan dua hal. Yang
pertama adalah agar Sufyan bin Abdillah ats-Tsaqafi ajeg, istiqamah
dalam beribadah kepada Allah SWT. Kemudian yang kedua Nabi SAW berpesan kepada
Sufyan bin Abdillah ast-Tsaqafi untuk menjaga ucapan seraya memberi isyarat
dengan menunjuk bibir beliau.
Kanjeng Nabi Muhammad SAW menyandingkan pesan untuk ajeg beribadah kepada
Allah SWT dengan pesan untuk menjaga ucapan. Ada makna tersirat bahwa kewajiban
untuk beribadah kepada Allah SWT harus berimplikasi terhadap beribadah dengan
berbuat baik kepada sesama manusia. Tidak dibenarkan seorang yang mengaku Islam
hanya beribadah kepada Allah SWT dalam serangkaian ibadah ritual, tapi ia
mengabaikan ibadah kepada sesama manusia dalam menjaga hubungan sosial. Pun
begitu pula sebaliknya, tidak sempurna agama orang yang mengaku Islam jika
hanya berbuat baik dalam hubungan sosial, namun ia meninggalkan keajegan, keistiqamahan
dalam beribadah kepada Allah SWT secara vertikal.
Kanjeng Nabi Muhammad SAW adalah kawula winasis, kinasihing Gusti Kang
Akarya Jagat, orang waskita yang menjadi kekasih Tuhan Yang Maha Pencipta.
Ucapan dan perbuatannya selalu dituntun berdasarkan wahyu Ilahi. Dalam pesan
suci wejangan yang beliau berikan kepada Sufyan bin Abdillah ats-Tsauri juga
mengandung pengertian bahwa suatu saat akan ada orang atau sekelompok orang
yang mengedepankan ibadah ritual kepada Tuhan YME dan mengesampingkan indahnya
menjalin keharmonisan hidup dengan sesama manusia, atau sebaliknya.
Kiranya makna yang demikian sudah terjadi saat ini. Banyak orang yang
dengan tegak dan lantang mengatakan dirinya adalah pembawa ajaran suci Tuhan,
namun perbuatan dan ucapannya kepada sesama manusia tidak sesuai dengan ajaran
Tuhan. Nur atau cahaya keshalihan tidak tampak dalam ucapan dan perbuatannya.
Cahaya Tuhan yang seharusnya membawa kesejukan bagi yang menerimanya tidak
tampak dari ucapan dan perbuatan orang yang mengaku beragama tadi.
Tuding sana-tuding sini, sindir sana-sindir sini, cela sana - cela sini.
Dimana ada ajaran agama yang memerintahkan umatnya untuk mencela sesama ?
Dimana ada ajaran agama untuk menyebarkan kebohongan, kebencian, provokasi, adu
domba, dll ?
Agama berasal dari kata a-tidak dan gama-rusak, artinya agama
adalah sebuah alat yang tidak menjadi sebab kerusakan. Jika ada orang yang
membuat kerusakan, kerusuhan, keributan dengan dalih agama, maka bisa
dipastikan ada disinformasi atau kongslet dalam pemahamannya terhadap konsep
ajaran agama.
Agama berarti ageman-pakaian, yang namanya pakaian pasti harus
sesuai dengan yang memakai. Pakaian harus memberikan kenyamanan kepada
pemakainya, ia bersifat luwes. Ageman bersifat fleksibel dengan tetap
pada visi-misi melindungi penggunanya dari kotoran, panas, hujan, dll. Selain
itu ageman juga digunakan untuk memperindah penampilan dari penggunanya.
Perlindungan dari kotoran, panas, hujan dll adalah makna dari keselamatan,
memperindah penampilan pengguna adalah makna dari kebenaran dan keindahan
sejati.
Komentar
Posting Komentar