Di
dunia pendidikan telah dikenal 4 teori belajar dan pembelajaran, yakni teori
behavioristik, kognitifistik, konstruktifistik, dan humanistik. Dari keempat
teori tersebut, dalam tulisan ini saya
akan membahas teori humanistik yang saya ambil dari dalam
jagad pewayangan, yakni dalam lakon “Dewa Ruci”. Oleh karena itu, saya
akan membahas tiga point dalam tulisan
ini, yakni :
1. Definisi teori humanistik
2. Sinopsis lakon “Dewa Ruci”
3. Implikasi teori humanistik yang ada pada lakon “Dewa Ruci”
1.
Definisi Teori Humanistik
Secara etimologi humanisme berasal dari kata Latin humanus dan
mempunyai akar kata homo yang berarti manusia. Humanus berarti sifat manusiawi
atau sesuai dengan kodrat manusia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
humanisme adalah aliran yg bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan
mencita-citakan pergaulan hidup yg lebih baik. Menurut
teori humanistik tujuan belajar adalah
untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika siswa telah
memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan kata lain, siswa telah mampu
mencapai aktualisasi diri secara optimal. Teori humanistik cenderung bersifat
eklektik, maksudnya teori ini dapat memanfaatkan teori apa saja asal tujuannya
tercapai.
Aplikasi teori humanistik dalam kegiatan
pembelajaran cenderung mendorong siswa untuk berfikir induktif. Teori ini juga
amat mementingan faktor pengalaman dan keterlibatan siswa secara aktif dalam
belajar.
2.
Sinopsis lakon Dewa Ruci
Alkisah Werkudara yang ingin belajar ilmu kesejatian hidup menemui gurunya yang bernama Resi Durna. Resi Durna memberitahu Werkudara bahwa untuk menggapai ilmu kesejatian hidup, ia harus mendapatkan Tirta Kamandanu (air suci) yang ada di di dalam sebuah gua, di hutan Tibrasara, dibawah Gandawedana, di gunung Candramuka. Tanpa banyak bicara, ia berangkat ke tempat yang dimaksud.
Ketika
sampai di tempat tersebut dan mencari Tirta Kamandanu, Werkudara tidak
menemukannya. Ia mengamuk dan mengobrak-abrik hutan itu, yang ahirnya
membawanya pada pertarungan sengit dengan Rukmuka dan Rukmukala, dua raksasa
yang menjaga tempat tersebut. Setelah menang melawan dua raksasa tersebut,
Werkudara kembali kepada Resi Durna dan menceritakan apa yang telah terjadi.
Mendengar
penuturan muridnya, Resi Durna mengatakan kepada Werkudara untuk mencarinya di
dasar samudera. Seketika itu, Werkudara pamit kepada ibunda dan
saudara-saudaranya. Namun sang ibu dan saudara-saudaranya mencegah niatan
Werkudara itu. Namun, dengan tekad yang kuat Werkudara tetap berangkat mencari
air suci itu. Setelah naik turun gunung, keluar-masuk hutan, sampailah
Werkudara di tepi samudera.
Setelah mengheningkan cipta dan berdo’a, air laut tiba-tibak membelah seolah memberikan jalan baginya. Werkudara berjalan terus dan bertemu seekor naga yang tiba-tiba melilit dan menyemburkan bisanya kepada Werkudara. Berkat kesaktiannya, ahirnya Werkudara dapat mengalahkan naga itu. Setelah itu, Werkudara bertemu dengan orang yang sangat mirip dengan dirinya namun bertubuh lebih kecil. Dia adalah Dewa Ruci yang merupakan penjelmaan dari hati nurani Werkudara. Dari Dewa Ruci, Werkudara mendapatkan keterangan tentang sejatinya Tirta Kamandanu adalah ilmu ma’rifatullah, dengannya ia dapat mencapai kesempurnaan hidup dunia dan akhirat. Setelah menerima berbagai wejangan dari Dewa Ruci, keduanya menyatu dalam jasad Werkudara, dan berhasillah Werkudara mendaptkan ilmu kesejatian hidup yang dicarinya.
Implikasi teori humanistik yang ada pada lakon Dewa Ruci
Dalam cerita tersebut Werkudara dibiarkan oleh gurunya, yakni Resi Durna, untuk mencari pengetahuannya sendiri. Peran guru dalam teori humanistik adalah menjadi fasilitator dan memberikan motivasi kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan, memfasilitasi pengalaman belajar kepada peserta didik dan mendampingi peserta didik untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Menurut Kolb, ada 4 tahapan belajar
1. Tahap Pengalaman Konkret
2. Tahap Pengamatan aktif dan reflektif
3. 3. Tahap Konseptualisasi
4. 4. Tahap Eksperimentasi aktif
Harapan dari penerapan teori humanistik adalah agar peserta didik memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif. Hal ini nampak ketika Werkudara mendapatkan wejangan dari Dewa Ruci yang tak lain adalah perwujudan hati nuraninya sendiri dan Werkudara memahami wejangan tersebut, sehingga ia dapat menentukan langkah apa yang akan ia tempuh dalam menghadapi berbagai masalah hidup. Hal ini disebabkan karena seseorang akan dapat belajar dengan baik jika mempunyai pengertian tentang dirinya sendiri dan dapat membuat pilihan-pilihan secara bebas ke arah mana ia akan berkembang.
Dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam, penerapan teori humanistik dapat dilakukan bila peserta didik dapat memegang amanah dari pendidik, sebagaimana Werkudara memegang amanah gurunya. Peserta didik terlebih dahulu harus menyadari bahwa ia bertanggung jawab atas kelangsungan hidupnya. Dengan demikian, seorang guru tidak kesulitan mengontrol tindakan para peserta didiknya.
Misalnya, dalam Bab Zakat, peserta didik diberi pengetahuan berupa
teori-teori tentang zakat. Kemudian mereka diwajiban oleh guru untuk
menyalurkan zakat kepada para mustahiq agar mereka tahu seperti apa
kondisi orang yang berhak menerima zakat, dan dengan itu membawa pesan moral
atau sugesti bagi diri mereka untuk selalu berbagi dengan sesama. Cara yang
seperti ini lebih efektif, daripada peserta didik hanya diberi teori yang
‘membosankan’ tanpa praktik langsung, sehingga terkesan bahwa ilmu pengetahuan
hanya ada pada kalimat-kalimat dalam buku-buku pelajaran. Hikmah lain yang
dapat diperoleh adalah pengalaman yang didapat oleh peserta didik akan menjadi
bekal bagi mereka kelak ketika mereka terjun langsung ke masyarakat.
Hal ini merujuk pada firman Allah dalam QS. At-Tahrim ayat 6 yang
artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari
siksa api neraka . . .”
Dalam
ayat tersebut, Allah memerintahkan untuk menjaga diri sendiri, baru setelah itu
merembet ke orang lain. Dengan demikian, peserta didik akan lebih yakin dengan
ilmu yang ia dapat, karena ia sendiri yang mengalaminya, sebagaimana pepatah
mengatakan bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Kesadaran mawas diri, memandang dan
mengoreksi diri sendiri adalah kunci untuk mendekatkan diri dengan Sang
Pencipta.
Komentar
Posting Komentar