Islam (rasa) Nusantara

Orang Jawa punya pedoman "ajine dhiri saka lathi", maknanya kehormatan seseorang terletak dari caranya bertutur kata. Tidak sedikit orang memanggul masalah yang besar bisa menjadi makin besar masalahnya karena ucapannya, pun demikian pula tidak sedikit orang meminimalisir masalah dengan kata-katanya. Adapun terkait cara bertutur kata ada beberapa unsur, diantaranya esensi, diksi, serta intonasi.

Esensi merupakan isi atau inti dari sesuatu. Esensi merupakan hal yang paling utama dilihat dan dicermati oleh setiap pendengar, pembaca, audiens, atau apa saja kita menyebutnya. Dalam bertutur kata, esensi dari ucapan seseorang menjadi salah satu penentu, apakah orang itu layak untuk dihargai dan dijunjung tinggi martabatnya, atau malah dilecehkan serendah-rendahnya. Bila diperjelas lagi, hikmah dari ucapan seseorang akan menentukan sampai batas mana keluasan dan kedalaman ilmunya.

Diksi merupakan pemilihan kata yang tepat, yang mana hal ini lebih dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi lawan bicara. Strategi pemilihan kata yang tepat akan mempermudah lawan bicara untuk memahami informasi yang kita sampaikan. Pemilihan kata dipengaruhi kondisi psikis dan fisik lawan bicara.

Bahasa seseorang menunjukkan bagaimana kepribadiannya. Di Indonesia baru-baru ini diperkenalkan sebuah kosa kata baru yang menjadikan heboh beberapa kalangan. Kata tersebut adalah "Islam Nusantara". Bagi orang yang kurang memahami esensi Islam Nusantara, maka baginya Islam Nusantara adalah agama baru yang menyaingi agama Islam, serta menurut mereka tidak boleh ada.

Setelah melakukan perenungan dan pencarian informasi dari pelbagai sumber, terutama dari pencetus Islam Nusantara itu sendiri, disini penulis mengungkapkan pandangan pribadi terhadap Islam Nusantara.

Islam merupakan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia hingga hari kiamat. Konsep paling mendasar dalam Islam adalah menghamba kepada Allah, Tuhan seluruh alam. Inti dari ajaran Islam adalah memberikan keselamatan, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap mahluk lain. Aturan dalam Islam sangat kompleks namun juga sangat praktis dan fleksibel. Dari sekian banyak aturan dalam agama Islam, secara global dirumuskan dalam "Mabadi al-Khamsah" atau Lima Dasar yaitu : 1)menyelamatkan agama, 2) menyelamatkan jiwa, 3) menyelamatkan akal, 4) menyelamatkan harta, dan 5) menyelamatkan keturunan (keluarga).

Aturan dalam agama Islam yang fleksibel membuat Islam bisa berkembang diberbagai penjuru dunia dengan berbagai macam kondisi sosial budaya, maupun politik dan ekonomi. Islam membatasi hal-hal pokok yang harus dilakukan pemeluknya dalam lima hal yang disebut rukun Islam, yang terdiri atas : 1) syahadat, 2) shalat, 3) zakat, 4) puasa, dan 5) haji bagi yang mampu. Diluar lima hal tersebut, umat Islam diperintahkan untuk melakukan ibadah dalam hal hubungan sosial dan kebudayaan, batasannya adalah yang tertuang dalam "mabadi al-khamsah" di paragraf sebelumnya. Selama tidak melanggar lima hal tersebut, maka sah-sah saja umat Islam melakukan kreatifitas dalam rangka beribadah kepada Allah SWT.

Nusantara merupakan sebutan untuk Indonesia dan beberapa wilayah disekitarnya, sebagaimana yang terucap dalam Amukti Pallapa yang diucapkan Eyang Maha Patih Gajahmada. Nusantara yang terdiri atas daratan yang sangat subur serta laut yang memiliki kekayaan yang berlimpah didiami oleh para manusia dengan daya kreatifitas unggul, sehingga kebudayaan Nusantara menjadi salah satu penyokong peradaban besar dunia. Baik budaya kesenian, ilmu pengetahuan, politik, dsb, Nusantara menjadi salah satu rujukan para penjelajah dunia untuk menimba ilmu. Misalnya di era Majapahit, bangsa Nusantara memiliki sebuah lembaga pendidikan tinggi yang bernama Nalanda, ilmu sosial merujuk pada Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular, ilmu tata pemerintahan merujuk pada Kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca, dan masih banyak lagi.

Luhurnya peradaban bangsa Nusantara membuat bangsa-bangsa lain menjadi segan, sehingga sehingga dalam berinteraksi dengan penduduk Nusantara mereka berhati-hati dan penuh perhitungan. Termasuk dalam upaya penyebaran agama, agama Hindhu merupakan agama 'asing' pertama yang masuk di Nusantara, kemudian disusul dengan agama Budha. Namun kedua agama tersebut tidak berhasil 'menjamah' masyarakat kelas menengah kebawah. Penganut kedua agama tersebut mayoritas adalah kalangan menengah keatas. Sedang kalangan menengah kebawah menganut agama Kapitayan.

Agama Hindhu dan Budha masuk ke Nusantara melalui interaksi para Brahmana dan Bikhu dengan para pedagang yang dan pembesar kerajaan di Nusantara. Terbukti dengan banyaknya candi dan arca yang dibuat oleh para raja. Begitu pula dengan agama Islam, namun di masa awal masuknya Islam di Nusantara pada abad ke-7 M, penganut agama Islam masih sangat sedikit, dan itupun hanya orang non-Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah penyebaran Islam yang dilakukan bersifat kaku, sehingga masyarakat kurang tertarik dengannya.

Baru kemudian di abad 13-14 M para Wali melakukan dakwah Islam di tanah Jawa. Para wali datang dari Turki yang saat itu diperintah oleh Sultan Muhammad. Salah satu yang datang pertama adalah Sayyid Syamsuddin al-Bakir, Syaikh Maulana Malik Ibrahim, Syaikh Jumadil Kubro, dll. Mereka menyebarkan dakwah Islam di pulau Jawa. Baru kemudian ketika Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang merupakan keponakan dari Prabu Brawijaya V berdakwah, Islam mulai dapat diterima oleh banyak orang.

Sunan Ampel memberikan ajaran Islam kepada siapapun dengan cara yang arif, begitu pula dengan para murid beliau yang ahirnya mendapatkan tugas menyebarkan Islam juga. Maka terbentuklah sebuah dewan wali yang disebut WaliSongo. Para wali berdakwah dengan menggunakan budaya masyarakat pada masa itu, menanamkan nilai Islam tanpa menghapus budaya yang sudah mengakar kuat. Dengan cara itulah Islam makin berkembang di pulau Jawa. Hingga ahirnya banyak orang-orang dari luar Jawa yang menimba ilmu kepada para wali dan diberi tugas mendakwahkan Islam di luar pulau Jawa. Diantaranya adalah Datuk Ribandang yang menyebarkan Islam di Makasar, Sunan Prapen yang menyebarkan Islam di Lombok, dll.

Adapun cara yang digunakan oleh para murid dari WaliSongo dalam menyebarkan agama Islam adalah sama dengan para guru mereka. Nilai-nilai Islam ditanamkan dalam budaya masyarakat yang sudah mengakar kuat. Tentu dengan berpegang teguh terhadap prinsip dasar agama Islam. Dengan demikian pengamalan atau ekspresi dari ajaran Islam sangat beragam di Nusantara. Cara tersebut kemudia diteruskan oleh para Kiai, Ajengan, Tuan Guru, dll dalam berdakwah di Indonesia.

Hingga saat ini para Kiai tetap memegang teguh ajaran Islam dan memadukannya dengan budaya bangsa Indonesia yang beragam. Inilah yang kemudian menyebabkan munculnya istilah Islam Nusantara. Islam yang diamalkan atau diekspresikan dengan budaya Nusantara. Budaya yang memiliki nilai-nilai luhur. Islam Nusantara merupakan sebuah sebutan bagi Islam yang memiliki rasa dan warna Nusantara. Islam yang disifati dengan kearifan budaya Nusantara.

Disini kata Islam sebagai subjek utama, sedangkan Nusantara sebagai kata yang mensifati Islam, 'pakaian pembungkus' Islam. Jadi ajaran Islam tetap murni sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah, esesnsinya tetap, sedangkan cara pengamalannya yang diluarbibadah mahdhah menggunakan rasa budaya Nusantara.

Salah paham terhadap konsep Islam Nusantara berawal dari asumsi bahwa Islam Nusantara merupakan aliran baru yang mencampurkan Islam dengan budaya Nusantara. Secara eksplisit memang benar, tapi yang dipadukan adalah sebagian besar pelaksanaan ibadah ghairu mahdhah. Memang ada ibadah mahdhah yang dicampur dengan budaya Nusantara, misalnya shalat dengan mengenakan blangkon, iket, dll. Yang menjadi esensi adalah menutup aurat, bukan model pakaiannya. Jadi Islam Nusantara tetap memegang teguh esensi ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Dengan mengangkat kembali budaya Nusantara yang luhur, semoga peradaban bangsa Nusantara semakin berjaya dan kembali menjadi mercusuar dunia, bersanding dengan spirit Islam, kasih sayang bagi seluruh alam.

Komentar