DAKWAH WALI YANG TIDAK JELAS (1)

Islam di Indonesia tidak lepas dari penyebarannya oleh para tokoh yang disebut Walisongo dan generasi pewarisnya. Sebagai penyebar agama Islam yang damai, Walisongo tetap memperkenalkan Islam dengan meminimalisir potensi konflik di objek dakwahnya, masyarakat Nusantara umumnya, Jawa khususnya. Dengan demikian, dakwah Islam dapat diterima dan mendapat ruang di hati masyarakat pada masa itu.  
 
Diantara dakwah yang dilakukan para Wali adalah dakwah melalui pertanian. Dalam memperkenalkan Islam, para wali tidak serta merta ngobral dalil dan umbar hujjah, para beliau memasukkan esensi nilai-nilai keislaman dalam aktifitas kehidupan sehari-hari. Sekali lagi, esensi nilai Islam, bukan simbol yang mencolok akan Islam. Sebagian besar masyarakat Jawa kala itu adalah petani, pekebun. Karenanya, para wali memperkenalkan Islam melalui pertanian. Mengutip dari buku Atlas Walisongo karya Prof. Dr. KH. Agus Sunyoto, walisongo memperkenalkan Islam dengan memaknai alat-alat yang digunakan untuk bertani. Diantaranya adalah pacul, pacul yang dalam bahasa Indonesia disebut cangkul dimaknai sebagai barang papat sing aja nganti ucul, empat perkara yang jangan sampai lepas. Jika pacul, cangkulnya lepas empat perkara itu, maka yang tinggal adalah gagang cangkul, yang disebut doran, yang diterjemahkan dipaido karo Gusti Pengeran, dimarahi oleh Tuhan.  
 
Kanjeng Nabi menyampaikan bahwa dunia adalah ladang, sawahnya akhirat. Sebagaimana lumrahnya ladang, sawah adalah tempat menanam, maka akhirat adalah tempat memanen. Menanam amal kebajikan, menanam hal-hal yang baik dengan cara yang baik maka akan membuahkan hasil yang baik pula. Empat hal yang  jangan sampai lepas ketika menggunakan cangkul, pacul adalah al-Qur'an, Hadits, Ijma', dan Qiyas. Empat dasar utama yang menjadi pedoman dalam melaksanakan ajaran Islam.  
 
Dalam hadits, Kanjeng Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa hendaklah kita sebagai umat Islam berpegangan kepada al-Qur'an dan as-Sunnah, beliau tidak menyebut Ijma' dan Qiyas. Jika saat ini kita hidup di masa Nabi masih hidup, maka berpegang teguh terhadap al-Qur'an dan as-Sunnah saja sudah cukup, karena masalah yang muncul bisa dikonsultasikan kepada Kanjeng Nabi sebagai penerima wahyu. Namun saat ini, pemahaman terhadap al-Qur'an dan as-Sunnah tidak bisa dilakukan secara langsung, sebab zaman kita berbeda dengan zaman Rasulullah SAW, kondisi sosial-budaya kita berbeda, kondisi geografis masing-masing komunitas muslim pun berbeda. Perlu penerjemahan dan pentadabburan ayat dan hadits Kanjeng Nabi yang sesuai dengan situasi dan kondisi, tentu dengan disiplin ilmu yang mumpuni sehingga tidak menghilangkan prinsip yang dikehendaki ayat atau hadits, pun tidak membuat ayat dan hadits terkesan temporer, karena al-Qur'an dan as-Sunnah berlaku sampai hari kiamat. Oleh karena itu, muncullah ijma' dan qiyas.  
 
Kembali ke babagan walisongo, dalam mendakwahkan Islam melalui pertanian dengan sistem pengolahan tanah yang baik dan menghayati nilai-nilai spiritual atau falsafah pertanian, maka hasil dari pertanian akan semakin bagus dan juga berkah. 
 
Mungkin di jaman bapak-ibu kita keatas, masih dijumpai di banyak daerah bahwa setiap menjelang proses nggarap sawah pasti pak tani melakukan selamatan, entah bagaimana caranya yang jelas adalah memohon keselamatan kepada Yang Maha Kuasa. Saat ini sudah jarang orang yang melakukan itu, diantara sebabnya adalah karena menganggap bahwa Kanjeng Nabi tidak pernah melakukan hal yang demikian. Memang iya sih, karena Nabi sama sekali tidak pernah ke sawah menanam padi. Namun apakah Kanjeng Nabi tidak berdoa saat melakukan apapun ? Tidak mungkin, karena dalam salah satu sabda beliau adalah setiap sesuatu yang tidak diawali dengan menyebut nama Allah maka akan terputus. Imam an-Nawawi dalam kitab al-Adzkar min kalaami sayyidil abraar menjelaskan bahwa yang terputus adalah keberkahannya. Dengan menghayati esensi dari hadits tersebut, para wali di tanah Jawa tetap menganjurkan tradisi ritual selamatan sebelum menggarap sawah.  
 
Dengan diawali dengan selamatan, menyebut nama Allah Yang Maha Kuasa, maka hasil dari panen pertanian itu diharapkan menjadi hasil pertanian yang berkah. Namun sekali lagi, para wali tidak menunjukkan simbol Islam secara terang-terangan, diantaranya untuk menyebut Allah SWT, para wali menggunakan idiom Hyang Jagat Nata (Yang Maha Mengatur Alam Semesta), Gusti Kang Maha Agung (Yang Maha Agung), dsb. Apakah dengan demikian hasil panen benar-benar berkah ? Dalam hemat saya, jawabannya adalah iya.

Konsep berkah adalah bertambahnya kebaikan setelah kebaikan. Dr. Zul Efendi, M.Ag dalam bukunya "TEORI TRANSAKSI & INDUSTRI Menurut Hadis Nabi MUHAMMAD SAW" mengutip pendapat Imam an-Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim . Beliau menjelaskan bahwa berkah adalah kebaikan yang banyak dan abadi. Dari pengertian ini, secara eksplisit kita mendapat pemahaman bahwa dengan keberkahan yang sudah masuk kedalam sesuatu maka akan langgeng selama penyebab keberkahan itu masih dilakukan. Hasil panen yang berkah adalah hasil panen yang mendatangkan kebaikan.

Bisa kita lihat bahwa secara ekonomi, kehidupan masyarakat kita saat ini semakin baik, semakin mapan. Kalau pun toh ada sebagian orang yang mengatakan bahwa ekonomi kita terpuruk, kehidupan semakin sulit, menurut hemat saya hal itu tidak sebanding dengan apa yang dirasakan oleh para pendahulu kita. Kita masih bisa menikmati makan nasi putih, sementara pendahulu kita jarang makan nasi, tempat tinggal kita permanen, sementara pendahulu kita tinggal dibawah naungan rumah bambu, dan masih banyak hal lain yang saya kira merupakan keberkahan dari hasil bumi para pendahulu-pendahulu kita. Tinggal saat ini, kita sebagai penerus para beliau, untuk melanjutkan tradisi luhur, menghayati kegiatan kerja dan apapun saja dengan jiwa spiritual, menyebut dan mengagungkan Yang Maha Kuasa.



Komentar