GÉGÉR GENJIK PENGERAS SUARA

Beberapa waktu terahir ini sebagian masyarakat Indonesia dibuat geger dengan pemberitaan di media massa perihal aturan yang dikeluarkan oleh Kementrian Agama RI terkait pengeras suara yang biasa digunakan di tempat ibadah umat Islam. Niat Menteri Agama, KH. Yaqut Cholil Qoumas, Gus Yaqut untuk menertibkan penggunaan pengeras suara melalui SE no. 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala digoreng sedemikian rupa oleh sebagian pihak yang dalam kewaspadaan saya ingin membuat situasi makin keruh di negeri ini.

Diantara pihak yang memanfaatkan momen ini adalah kaum intoleran, kaum radikal, ekstrem kanan yang sedari awal Gus Yaqut diangkat menjadi Menteri Agama, atau bahkan sebelumnya, mereka ingin menguasai negeri ini. Ingin membuat keruh suasana harmoni yang menyelimuti negeri yang terus berbenah membangun peradaban ini. Dan karena memang negeri ini dihuni oleh manusia-manusia agamis, yang dalam ritus apapun masih sangat kental dengan nuansa religi, maka digunakanlah bumbu bernama agama untuk membuat provokasi dengan gorengan isu-isu yang tengah merebak di masyarakat.

Jika kita mau melihat dengan lebih teliti, dari judul Surat Edaran yang dikeluarkan saja dapat dipahami bahwa aturan yang dibuat adalah untuk membatasi penggunaan pengeras suara, bukan melarang penggunaan pengeras suara sebagai sarana ibadah. Siapa sih yang tidak tahu Gus Yaqut, seorang Panglima Tertinggi Barisan Ansor Serbaguna (BANSER) yang berada dibawah naungan organisasi Islam terbesar di dunia Nahdhatul Ulama'. Gus Yaqut adalah seorang santri yang sudah makan sekian banyak pelajaran agama ala pesantren dengan segala disiplin ilmu yang ada didalamnya, bukan seorang Ustadz karbitan kemarin sore yang masih belajar agama baru sebentar dan tidak menguasai ilmu alat dalam memahami nash kitab suci al-Qur'an. Jadi, dari sisi personal dan global saja tidak bisa ini disebut sebagai pelarangan penggunaan pengeras suara sebagai sarana ibadah. 

Jika kurang yakin, silahkan dicermati isinya disini !

Saya yakin 99% umat beragama selain Islam tidak akan terganggu, dan pasti mentolelir suara adzan dengan pengeras suara. Mengapa demikian, salah satu fungsi adzan adalah panggilan yang menjadi tanda umat Islam wajib segera melakukan ibadah shalat fardhu, dan tidak ada yang boleh menghalangi umat beragama apapun di Indonesia untuk melakukan ritual ibadah menurut agamanya, demikian menurut pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Buktinya, banyak Masjid atau Mushalla yang berdiri kokoh didekat tempat ibadah umat non-muslim, dan mereka fine-fine saja.

Nah, yang menjadi masalah adalah ketika pengeras suara luar yang ada di Masjid atau Mushalla digunakan untuk selain rangkaian ibadah shalat fardhu, termasuk adzan, misalnya pengajian, majelis shalawat Nabi, tadarus al-Qur'an, dsb. Saya ambil contoh misalnya tadarus al-Qur'an yang dilakukan didalam atau diluar bulan suci Ramadhan. Terkadang orang yang belum fasih membaca al-Qur'an memaksakan kehendak untuk membaca al-Qur'an menggunakan pengeras suara luar, padahal kalau dilihat dari sisi makhraj dan tajwid saja jauh dari kata tepat, apalagi sampai membuat hati nyaman dan tenteram saat membaca dan mendengarkan. Tombo Ati yang pertama saja adalah membaca al-Qur'an secara perlahan, penuh dengan kekhusyukan serta tartil, kalau membaca saja masih salah, mana bisa khusyuk ? Dan bagi yang mendengar, saya yakin akan risih dengan suara bacaan yang didengarnya.

Contoh lain adalah penggunaan pengeras suara luar untuk melakukan pembacaan shalawat Nabi dan pengajian. Shalawat kepada baginda Nabi sangat afdhal bila dilakukan dengan penuh cinta apalagi dengan suara yang indah, bukan dengan teriak-teriak membuat bising bahkan pusing orang yang mendengarnya. Kanjeng Nabi Muhammad SAW adalah orang yang ngayomi dan ngayemi umatnya, sehingga jika disebut namanya, maka hati akan menjadi tenang dan tenteram. Karena yang mengucapkan namanya melalui syair shalawat adalah manusia biasa, sehingga dibutuhkan teknik dan trik agar orang yang mendengar bisa larut dalam kerinduan kepada Baginda Nabi, bukan malah merasa pusing dan terganggu dengan shalawat. 

Bukan berarti penulis melarang orang yang tidak memiliki suara indah untuk bershalawat atau membaca al-Qur'an, namun penulis mengambil sudut pandang sebagai pendengar. Oleh karena itu, tepatlah kiranya jika dalam Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Menteri Agama RI ditentukan kapan dan bagaimana teknis penggunaan pengeras suara Masjid atau Mushalla, toh aturan mengenai penggunaan pengeras suara Masjid atau Mushalla sudah ada di negara ini sejak tahun 1978. (Baca disini).

Itu jika dilihat secara umum, kalau mau menambah literasi, dalam kitab al-Adzkar min Kalaami Sayyidil Abraar karya Imam Nawawi ad-Dimasyqi dijelaskan bahwa mengeraskan bacaan al-Qur'an diperbolehkan bahkan lebih afdhal dengan catatan tidak mengganggu orang lain yang sedang shalat, tidur, atau melakukan aktifitas yang bisa terganggu konsentrasinya karena mendengar suara dengan volume yang keras. Hal ini tercatat dalam BAB Tilaawatil Qur'aan pasal mengeraskan atau memelankan suara bacaan al-Qur'an. Namun sebaliknya, jika bacaan al-Qur'an atau kalimah thayyibah lainnya dapat mengganggu orang lain, maka hal ini tidak dibenarkan.

Kembali ke bahasan adzan dengan pengeras suara. Dalam konferensi pers Menteri Agama RI, Gus Yaqut menyampaikan analogi yang menjadi pemicu polemik yang luar biasa. Gus Yaqut yang sedang ditanya wartawan terkait Surat Edaran no. 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala menyampaikan bahwa beliau tidak melarang penggunaan pengeras suara Masjid atau Mushalla. Yang menjadi polemik adalah analogi beliau yang menyatakan jika ada umat Islam berada di lingkungan non muslim, dan para tetangga yang non muslim mempunyai anjing dan menggonggong bersamaan, maka pasti muslim tadi terganggu. Esensinya adalah suara nyaring yang berbunyi secara bersamaan berpotensi mengganggu. 

Bak sebuah peluru yang mudah digunakan untuk membidik sasaran, pernyataan Gus Yaqut dijadikan bahan untuk menjatuhkan beliau. Berbagai upaya provokasi masyarakat yang menuduh Gus Yaqut telah menistakan agama Islam disebarluaskan melalui media sosial. Banyak berseliweran di instagram, twitter, facebook, dll tentang kecaman bahkan video yang menunjukkan penghinaan yang luar biasa kepada Menteri Agama RI. Siapa lagi pelakunya kalau bukan orang-orang yang ekstrimis dengan berbagai kepentingan ngisruh negeri ini. Silahkan dicek di berbagai berita yang tersebar di media sosial, 'pemainnya' ya itu-itu saja, cara dan triknya juga sudah terbaca.

Kalaupun toh analogi yang disampaikan Gus Yaqut terkait suara adzan itu dinilai kurang tepat atau bahkan salah, maka bentuk 'protes' masyarakat bukan dengan melakukan hal-hal yang tidak etis, yang itu justru bukan ajaran Islam. 

Gus Yaqut diangkat sebagai Menteri Agama oleh Presiden RI, H. Joko Widodo yang secara sah memegang tampuk kepemimpinan di Republik ini. Bapak Presiden tidak mungkin asal pilih, dibelakang beliau ada Dewan Pertimbangan Presiden, Wakil Presiden, dan beliau pun pasti sudah memikirkan masak-masak terhadap pilihannya. Gus Yaqut sebagai Menteri Agama RI ibarat imam dalam shalat berjamaah. Beliau yang ngimami 231.069.932 umat Islam yang ada di Indonesia. Jika kita melihat pelajaran fikih dasar, cara makmum mengingatkan seorang imam yang salah adalah dengan membaca tasbih (bagi laki-laki) dan menepukkan kedua punggung tangan (bagi makmum perempuan). 

Islam mengajarkan demokrasi, mengingatkan pemimpin yang salah saja ada aturannya, bukan dengan cacian, makia, hinaan, dll. Nabi Musa a.s dan Nabi Harun a.s saja diperintah oleh Allah SWT menggunakan perkataan yang lembut dalam menghadapi Fir'aun, raja pongah yang mengaku Tuhan. Dan Allah SWT mengabadikannya dalam QS. Thaahaa ayat 44, sebagai bukti dan pedoman bahwa dalam urusan yang menyangkut pribadi, sesama mahluk-sesama manusia, yang dikedepankan adalah ucapan yang baik-akhlak-etika. 

Etika yang baik, akhlak yang luhur merupakan cerminan dari hati yang jernih, hati yang tentram. Apalagi kalau bukan dengan dzikir-mengingat Allah SWT Dzat Maha Agung Sang Rahim yang Rahman. Ini adalah tolak ukur, bukan untuk men-judge orang lain, namun sebagai pelajaran saja, bahwa orang yang perkataan, perbuatannya menyejukkan - memberi kemanfaatan kepada umat adalah ahli dzikir, begitu pun sebaliknya. Bukankah kita diperintah oleh Allah SWT untuk selalu berdzikir dengan washilah ayat-tanda kebesaran-Nya ? (QS. Aali Imraan ayat 190-191).



Komentar