Makna tidak sama dengan arti, pemaknaan tidak sekedar
pemberian definisi akan sebuah istilah atau kata. Pemaknaan lebih kepada
penjelasan terhadap kata atau istilah secara mendetail yang output-nya
adalah penghayatan dalam keseharian. Maka orang yang hidupnya penuh penghayatan
disebut sebagai orang yang bermakna, begitu pula dengan lagu, puisi, lukisan,
dll yang memuat ajaran luhur dan dapat dipraktikkan kebenarannya, maka disebut
lagu, puisi, atau lukisan yang bermakna.
Tentunya kadar pemaknaan terhadap sesuatu harus disesuaikan
dengan situasi dan kondisi. Pemaknaan terhadap sholat yakni merasa selalu dekat
dengan Allah SWT, namun ketika bertemu dengan orang lain tidak lantas enggan
menyapa, enggan bercengkrama, enggan berkomunikasi dengan alasan sedang khusyuk
kepada Allah. Pun tidak juga ketika sedang sholat maka merasa seperti ada di
warung, bebas melakukan apapun sehingga lupa bahwa sedang melakukan hubungan
vertikal dengan Allah SWT.
Salah satu hal yang aneh menurut penulis, adalah ketika ada
orang melakukan pemaknaan terhadap sebuah hal, maka ia akan dikatakan alay atau
lebay atau berlebihan. Misalnya, ada orang membawa bendera merah putih,
kemudian bendera itu jatuh, dan si pembawa bendera mengambil bendera itu
kemudian mencium dan mendekapnya. Orang disekelilingnya ada yang mengatakan
bahwa hal itu berlebihan, terlalu lebay, mereka menganggap bendera itu
adalah kain biasa, tak ubahnya seperti baju yang dikenakan. Padahal bagi si
pembawa bendera yang menghayati betul apa yang ada didalam bendera merah putih
tersebut, tindakan mencium dan memeluk bendera adalah sebuah penghormatan dan
wujud syukur kepada Tuhan YME, betapa tidak, di zaman penjajahan bangsa
Indonesia tidak diperkenankan untuk mengibarkan bendera merah putih.
Ini menunjukkan bahwa makin banyak orang yang tidak bisa
membedakan mana pemaknaan, mana yang berlebihan. Tidak bisa membedakan mana
manis, mana gula, dan menganggap sama antara gula dan manis. Orang sudah banyak
yang kehilangan standar dalam berpikir dan bersikap. Memikirkan sesuatu yang
penting cepat, kurang memperdulikan apakah itu tepat. Melakukan sesuatu yang
penting dilakukan, persetan dengan pertimbangan nilai dan esensi, serta dampak
dari apa yang dilakukan.
Bisa dikatakan bahwa hilangnya makna bagi manusia adalah
hilangnya penghayatan akan status dan perannya. Hidup yang bermakna bagi
manusia modern adalah hidup untuk memperkaya diri, menumpuk harta, serta
meninggikan pangkat. Semuanya dilakukan secara kebablas, dengan perhitungan
yang sempit serta untuk waktu yang singkat. Sedangkan dalam al-Qur’an sudah
jelas bahwa manusia yang selalu menumpuk harta dan jabatan baru akan sadar akan
makna kehidupan ketika ajal telah datang.
Bukan menafikan sifat asli manusia dan kebutuhannya akan
harta, tapi batas terhadap dunia harus disadari manusia, sesuai porsi
masing-masing, sesuai kapasitas keseharian tiap individu.
Kalau kesadaran akan makna sudah menurun atau bahkan
menghilang, maka sedikit demi sedikit apa yang dilakukan manusia akan semakin
tidak terkendali. Manusia makin terlihat menjadi mahluk munafik yang
sebenarnya, lebih mengutamakan bungkus daripada isi, lebih meperhatikan ucapan
daripada ketulusan, dan puncaknya dalam kehidupan sosial adalah lebih
mengedepankan nafsu daripada akal dan nurani.
Maka sebagai mahluk Allah yang bernama manusia, untuk menjaga
kesadaran akan makna dan standar hidup, salah satu upaya yang dilakukan adalah
memohon kepada-Nya dengan kalimat Ihdinash shiraathal mustaqiim. Sebuah
kalimat yang sudah sangat familiar dari anak-anak hingga orang yang tua renta.
Kalimat yang salah satu fungsinya adalah permohongan kepada Tuhan agar Dia
memberikan intuisi kepada manusia. Bergandengan tangan dengan-Nya menjadi salah
satu kunci untuk sadar akan pentingnya makna, utamanya makna status dan peran
manusia dalam kehidupan.
Memaknai sesuatu berarti pula berpikir luas terhadap objek
tersebut, dari berbagai sudut pandang, serta mengambil pelajaran darinya.
Karunia Tuhan berupa akal difungsikan semaksimal mungkin untuk menemukan makna
dari berbagai macam kejadian yang merupakan tanda-tanda kebesaran-Nya. Maka
output kedua adalah menjadi hamba Tuhan yang bersyukur. Dia telah berjanji
dalam kitab suci-Nya bahwa siapapun yang bersyukur atas nikmat-Nya, makan akan
Ia lipat gandakan nikmat itu, dan barangsiapa yang mengingkari atas segala
nikmatnya, Ia akan menyiksa orang itu dengan siksaan yang pedih.
Orang yang mau berpikir, memaknai kejadian-kejadian
disekitarnya maka akan menjadi orang yang tajam instingnya, makin bisa
menentukan sikap yang tepat, baik atas dirinya maupun kepada orang yang disekitarnya.
Hal yang demikian merupakan salah satu wujud lipat ganda dari nikmat Tuhan yang
dijanjikan-Nya kepada orang yang mau bersyukur. Sebaliknya bagi orang yang
enggan melakukan pemaknaan apalagi penghayatan, maka bisa dipastikan dia
cenderung kurang bermanfaat bagi orang lain. Tidak bisa menentukan pilihan yang
tepat karena instingnya kurang peka.
Akibatnya bisa-bisa fatal, karena hidup adalah pilihan, dan
jangan sampai memilih pada pilihan yang salah. Karena ketika sudah salah pilih,
dan yakin akan kebenaran dari pilihan itu maka manusia akan masuk melalui pintu
ketertutupan, duduk di lantai kebodohan, bernaung dibawah atap keegoisan, dna
bersembunyi dibalik dinding kedangkalan.
Komentar
Posting Komentar