Banyak
cara dilakukan manusia untuk mendekatkan diri dengan Tuhan, hingga mencapai
puncaknya yakni peleburan dirinya dengan Yang Maha Kuasa memadu kasih bersama.
Dalam menuju-Nya perlu berbagai macam proses yang panjang, tidak serta merta
dalam sekejap bisa sampai kepada-Nya. Rasulullah SAW saja harus melalui
penyucian hati terlebih dahulu, ke Palestina, ke Sidratul Muntaha, dst. Seiring
berjalannya waktu, pemikiran serba instan menjadi trend dan menjadi mindset manusia
modern. Tidak bisa disalahkan mindset yang demikian, mengingat akan
pentingnya efektifitas waktu. Tinggal bagaimana mengatur berapa persen manusia
menggunakan mindset instan dalam setiap lini kehidupannya masing-masing.
Dari
mindset serba instan banyak yang kebablas sehingga melupakan pentingnya
proses apalagi penghayatannya. Alih-alih menghayati proses, melakukannya saja
sudah enggan. Fatalnya, mindset instan ini digunakan dalam kehidupan
beragama. Agama yang intinya adalah menyatu dengan Tuhan, dijalani dan
dilakukan dengan cara yang instan. Misalanya, jika ingin masuk surga tinggal
ketik ‘amin’ dan ‘share’ berita yang dikirim di media sosial. Betapa murahnya
surga, padahal hotel berbintang saja begitu mahalnya, sementara surga dibeli
dengan paket data sekian MB. Sampai pada yang lebih fatal adalah ingin mati
dalam keadaan syahid, berperang di jalan Tuhan.
Ada
beberapa poin yang ingin penulis sampaikan,
Pertama,
perang yang paling besar adalah perang melawan hawa nafsu. Dalam
sejarah dikisahkan bahwa sepulang dari perang Badr, Rasulullah SAW mengatakan
bahwa umat Islam pulang dari perang kecil, menuju ke perang yang lebih besar,
yakni perang melawan hawa nafsu. Artinya perang melawan hawa nafsu adalah
perang melawan diri sendiri, mengekang keinginan untuk memiliki secara
berlebihan, mengekang diri untuk menguasai, mengintervensi, memperalat, dst. Maka
seseorang dikatakan sebagai mujahid sejati saat ini adalah orang yang
kuat mengekang dan mengendalikan nafsunya.
Kedua, Tuhan merawat para mahluk-Nya dengan kasih sayang, rahmat dan
ampunan-Nya lebih besar dari adzab dan murka-Nya. Logisnya, kalau saja Tuhan
tidak memiliki rahmat dan ampunan yang lebih besar dari adzab dan murka-Nya,
maka ketika setiap manusia melakukan dosa atau kesalahan pasti saat itu juga
akan disiksa-Nya manusia itu dengan sepedih-pedihnya. Faktanya tidak, ada
banyak kejadian alam yang menewaskan manusia, menimbulkan berbagai problem
sosial, ekonomi, kesehatan, dll yang dikemudia hari justru menambah manfaat dan
berkah bagi manusia sendiri. Sampai saat ini alam masih dijaga oleh Tuhan dalam
tata kosmos keseimbangan-Nya. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa matahari,
rembulan, bumi, seluruh planet, dan apapun berada pada orbitnya masing-masing.
Ketiga,
tugas pokok manusia dibumi adalah menghamba kepada Tuhan. Menghamba
kepada Tuhan berarti beribadah sebaik mungkin, meningkatkan kecintaan
kepada-Nya. Dalam ranah ini yang digunakan adalah ego setiap manusia untuk selalu
mendekatkan diri kepda-Nya. Kemesraan hamba dengan Tuhannya, hubungan baik
dengan Sang Pencipta.
Keempat, segala sesuatu selain Tuhan adalah tajalli-Nya. Artinya
bagi orang yang sudah baik dan benar, dalam artian sudah beres hubungannya
dengan Tuhan, maka ketika berinteraksi dengan sesama mahluk, ia akan memperlakukan
sesama dengan baik, karena ia melihat ada kasih sayang Tuhan yang diberikan-Nya
kepada mahluk itu. Berinteraksi dengan siapapun ia akan melandasinya dengan
kasih sayang, memandang dengan pandangan cinta bukan kebencian, mendengar
dengan kejelian bukan dengan ketergesa-gesaan, menyikapi sesuatu dengan arif
bukan dengan kegegabahan, dst.
Kelima, sebagai umat Islam diwajibkan untuk terus belajar, mulai dari
lahir sampai mati. Belajar dari siapapun dan dari apapun, tentunya dengan
membawa bekal filter berupaka akal sehat, hati nurani, serta memperhatikan
nilai dan norma yang berlaku. Belajar membutuhkan waktu yang panjang, termasuk
juga membutuhkan ketekunan, ketelatenan, dan keuletan. Tidak serta-merta
mendapatkan hasil memuaskan.
Tergesa-gesa
dalam menerapkan hasil belajar, serta tergesa-gesa ingin mencapai tujuan
belajar jika dimaknai sebagai semangat untuk terus belajar, maka itu bagus.
Tapi jika dimaknai secara kebablas, sehingga menerjang kepentinga orang lain,
merugikan orang lain, demi kepentingan pribadi, inilah yang membuat fokus otak
menjadi kacau, dan mudah untuk menerima ide-ide yang berbahaya bagi diri
sendiri dan orang lain, dalam hal apapun.
Dalam
berlalu lintas, tergesa-gesa menimbulkan kecelakaan, dalam mengunyah makanan
tergesa-gesa menjadikan tersedak, ketika berjalan tergesa-gesa bisa menjadikan
terjatuh. Dalam beragama, tergesa-gesa alih-alih masuk surga, bisa-bisa masuk
neraka. Merugikan orang lain mengatasnamakan Tuhan, membunuh orang dengan nama
Tuhan, yang jelas-jelas orang itu tidak pernah mengancam nyawa, harta, atau
martabat sesama. Belajar kalimat ‘Tiada Tuhan’ dengan makna ‘yang patut
disembah’, tapi mengilangkan makna kalimat ‘selain Allah’, padahal dalam setiap
mahluk ada tajalli dari Allah SWT.
Komentar
Posting Komentar