Membangun Kedekatan Batin Sebelum Berharap Dia atau Mereka Yakin

Tadi malam saya mendengar kisah Luqman aL-Hakim, dia memberi larangan kepada putranya untuk tidak menyekutukan Tuhan, untuk memegang teguh keimanannya, dan mengatakan bahwa mempersekutukan Tuhan adalah hal yang paling dibenci oleh-Nya. Saya mendapati pesan tersirat, bahwa untuk membicarakan keimanan kepada seseorang atau agama, yang perlu diutamakan adalah membangun kondisi sebagaimana kondisi Luqman aL-Hakim. Dalam ayat itu dikatakan "Wahai anakku, jangan engkau sekali-kali menyekutukan Allah, sesungguhnya menyekutukan Allah adalah dosa terbesar". Luqman al-Hakim menyatakan 'wahai anakku', posisinya berada pada posisi yang lebih tua. Orang tua yang mengayomi, menyayangi, dan mengasihi anak. Orang tua yang paham bagaimana kondisi fisik dan psikis anak. Karena itu kata yang digunakan adalah 'yaa bunayya',  wahai anakku, kata 'bunayya' sama dengan 'ibn' yang menunjukkan nasab atau keturunan. Sehingga dengan kesadaran penuh dia mengatakan wasiatnya, dan anak menyimak dengan serius pula.

Realita saat ini banyak yang mengajak kepada jalan Allah dengan mengesampingkan faktor psikis orang yang diajak. Belum ada ikatan kasih sayang yang kuat, rasa persaudaraan yang akrab diantara kedua belah pihak tapi sudah dituntut untuk mengikuti omongan si pendakwah. Kalau memaksa menuruti omongan si pendakwah, bukankah sama halnya pendakwah merasa dia benar dan harus diikuti  ? Padahal dia kan bukan Rosul  ?

Rasulullah Muhammad SAW sebelum berdakwah, menyampaikan ajaran Islam untuk menyembah Allah saja, beliau melakukan pembangunan rasa cinta dan persaudaraan. Beliau tawarkan konsep Islam dengan baik-baik, kalau yang diberi penawaran tidak mau ya sudah, beliau tidak marah kok. Malah beliau pernah ditegur Allah, bahwa petunjuk datangya dari Allah, bukan dari mahluk, meskipun posisinya sebagai Nabi.

Diawal era dakwah Rosululloh SAW di Makkah hingga ahir hayat di Madinah, tidak ada dalam sejarah bahwa beliau memerangi orang-orang yang tidak mau menerima dakwahnya. Dalam peristiwa 'Fathu Makkah' beliau memaafkan para penduduk Makkah yang pernah memboikotnya di Hudaibiyah. Dalam peristiwa hijrah ke Yatsrib, beliau yang diminta memimpin Yatsrib menyusun Piagam Madinah yang memberi kebebasan beragama kepada seluruh penduduk Yatsrib, serta menjamin keselamatannya. Sepanjang sejarah perang-perang beliau, setau saya tidak ada kata memulai perang terlebih dahulu, beliau dan para pengikutnya melakukan perang untuk mempertahankan diri, itu pun dengan berbagai peraturan, diantaranya dilarang membunuh anak-anak, kaum perempuan, merusak tanaman, dan hal-hal lain, yang dasarnya tetap kasih sayang, dalam rangka tetap membangun chemistry yang kuat, memposisikan dirinya dan umat Islam sebagai orang tua yang mengayomi anaknya.

Menarik garis ke bangsa Indonesia, bangsa Indonesia yang menjadi bangsa tertua di dunia menganggap dirinya sebagai orang tua, bangsa Indonesia tahu diri, bangsa Indonesia menjadi Ibu bagi bagi bangsa-bangsa lain di dunia. Oleh karena itu siapapun boleh berhubungan dengan bangsa Indonesia, siapapun boleh melakukan transaksi dengan bangsa Indonesia. Tapi perly diingat, bahwa bangsa Indonesia yang memposisikan diri sebagai orang tua, bisa malati bila ada anak yang kurang ajar terhadapnya, kurang ajar mencuri milik orang tuanya, kurang ajar menghina orang tuanya, yang telah menganggap anak harus dikasihi dengan setulus hati.

Agama yang menjadi panutan orang tua tidak serta merta dihilangkan, karena orang tua paham akan apa yang dilakukannya. Orang-orang tua kita dulu mau menerima ajaran Islam karena penyampaiannya yang penuh rasa welas asih, tidak teriak-teriak dan nduding-nduding. Dalam sejarah Islam di Indonesia dibuktikan bahwa Islam berkembang pesat saat dekade Walisongo yang kurang dari 50 tahun, para wali bisa menyampaikan Islam tanpa harus memaksa orang lain mengikutinya, para wali menyampaikan ajaran Islam sebagaimana Rosululloh SAW memperkenalkan agama Nabi Ibrohim yang hanif. Para wali tahu dan faham bahwa bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang tertua di dunia, maka mereka harus lebih sopan kepada orang tua.

Kalau tidak ada pihak yang ngompori, maka tidak akan terjadi Pasukan Demak Bintoro menyerang Mojopahit, kalau tidak ada yang ngompori tidak akan terjadi pertumpahan darah dalam dakwah Islam di Indonesia. Kanjeng Sunan Ampel sudah mewanti-wanti bahwa Mojopahit adalah orang tua kita, termasuk yang memeluk agama Islam, Mojopahit memberi kebebasan dakwah Islam, mengapa 'anak' yang Islam memaksa orang tuanya yang non muslim untuk pindah agama, padahal anak sudah diberi keleluasaan dalam beribadah ? Bukankah itu kurang ajar ?

Tapi yang namanya orang tua, semarah apapun terhadap anak pasti ndak akan kebangetan kok. Fakta sejarah mengatakan ahirnya Islam bisa diterima di Nusantara, Ibu Pertiwi membiarkan anak-anaknya melakukan apapun untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Hingga banyak kerajaan Islam berdiri di Nusantara dan mengayomi semuanya. Perpecahan terjadi, darah tumpah kembali dengan amat berarti ketika ada pihak asing yang ngompori anak-anak ibu pertiwi untuk memperkosanya.

Hingga saat ini, kusampaikan pesan kepada samua saudaraku yang lahir dadi rahim ibu pertiwi, ibu kita sudah tua, tapi rasa sayang kepada anak-anaknya terus bertambah. Ibu kita prihatin, ibu kita tidak mau anaknya dalam bingkai pertikaian, saat ini mari kita sungkem kepada ibu pertiwi, tidak ada lagi pemaksaan kehendak pribadi atau golongan yang akan membawa dampak kerugian, tidak akan ada lagi rasa curiga kepada lain individu maupun golongan, tidak ada lagi fanatik yang berlebihan, dan tidak ada lagi acara melukai sesama dengan kemasan memperjuangkan agama Tuhan.

Rahayu... Rahayu....

Komentar