Kejahatan kemanusiaan tidak hanya
bersifat fisik, lebih kejam kejahatan yang bersifat psikis. Alasannya adalah
rentang waktunya akan lebih lama kejahatan yang bersifat psikis. Jika orang
tawuran dan terluka, mungkin dalam waktu satu bulan luka itu sudah sembuh
seperti sediakala. Tapi ketika seseorang terlibat sebuah konflik yang
dilatarbelakangi perendahan martabat, butuh waktu bertahun-tahun watau bahakan
tidak terlupakan sampai mati untuk menghilangkan sakitnya.
Bangsa Indonesia sudah berusaha
melupakan luka fisik akibat peperangan yang dialami para leluhur di zaman
penjajahan. Buktinya semua turis asing boleh berkunjung ke bumi Nusantara ini,
disambut dengan baik, dengan ramah. Namun saat ini banyak yang mengatakan bahwa
penjajahan yang dilakukan atas bangsa kita adalah penjajahan psikis, mental,
pemikiran, dan hal-hal lain yang bersifat immateri yang bertujuan memecah belah
bangsa ini. Disaat mengatakan demikian, orang-orang tersebut juga tidak sadar
bahwa mereka pun juga sedang dalam pengaruh provokasi bangsa lain yang sangat
halus.
Dalam hal ini penulis mengatakan
salah satu yang menjadi senjata adalah isu-isu agama.Bangsa Indonesia yang
sangat menjunjung tinggi nilai-nilai religius dipandang sangat mudah terkecoh
dengan yang berbagu agama. Terbukti dengan banyaknya konflik yang alasannya
adalah hal-hal ‘remeh’ seputar pelaksanaan dan pemahaman agama. Bermunculan
banyak organisasi keagamaan yang misinya adalah menambah kuantitas anggota
pemeluk agamanya dan bukan untuk memperteguh keimanan kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Tidak sedikit dari pendiri organisasi agama itu yang menyandarkan dasar
organisasinya kepada orang yang tidak memiliki karakter ke-Indonesiaan, dalam
hal ini tidak ber-Pancasila. Dengan tidak men-sila-kan yang panca itu mereka
merasa bahwa yang dibawa adalah pembaharuan yang hebat dan siap mengahdapi masa
depan, baik masa depan dunia yang indah maupun masa depan setelah kematian.
Mirisnya, segala sesuatu yang berbau
kebusukan dibumbui dengan dalil indah agama, sehingga hal tersebut terkesan
adalah wahyu Tuhan yang harus dilaksanakan. Sedangkan mereka yang memiliki
karakter ke-Indonesia-an, menjunjung tinggi Pancasila, dan mengedepankan
kebhinekaan dianggap sebagi orang-orang yang ingin merusak kemurnian ajaran
sebuah agama. Bagi mereka agama adalah hal yang paling utama dan tidak boleh
dikalahkan dengan apapun. Padahal menurut pengetahuan penulis semua ajaran
agama di Indonesia disebarkan oleh pembawanya dengan kasih. Islam diajarkan
para wali dengan berbaur dengan budaya lokal, Hindhu dan Budha disebarkan para
Brahmana melalui hubungan yang baik dengan pembesar kerajaan, Kristen Protestan
dan Katolik walaupun masuk bersamaan dengan penjajah Portugis tapi juga
disebarkan dengan penuh kasih, buktinya di daerah Indonesia Timur yang
mayoritas Kristen Katolik dan Protestan tidak pernah ada konflik dengan umat beragama
lain. Masjid dan Gereja berdiri berdekatan, umat yang berbeda agama setiap hari
bercengkrama dengan kehangatan cinta dan kasih sayang. Hal inilah yang berusaha
diporak-porandakan oleh bangsa asing yang ingin menguasai Indonesia dengan
memanfaatkan orang-orang yang tidak memiliki kekuatan cinta kepada negeri ini.
Berbagai macam pola pikir dimasukkan
ke alam bawah sadar melalui berbagai media, salah satu mata rantai yang menjadi
goal sementaranya adalah kedangkalan berfikir. Bisa kita lihat sekarang bila
ada orang yang mengedepankan Pancasila maka dianggap liberal, sekuler, tidak
religius, meninggalkan syariat, dsb. Sedangkan bila ada yang mengedepankan
agama dipandang sebagai kaum fanatik yang tidak nasionalis. Ini apa-apaan ?
Padahal dalam agama ada ajaran cinta tanah air atau nasionalisme, dalam
nasionalisme pula diajarkan cinta akan kehidupan yang religius.
Menurut penulis salah satu cara
untuk menanggulangi kedangkalan berpikir adalah pemaknaan. Jika orang
menghayati makna dari suatu hal atau peristiwa maka tidak akan mudah ada
konflik, karena pada dasarnya semua manusia menghendaki perdamaian. Apapun yang
baik kita ambil dan kita lakukan, tentu dengan standar nilai dan norma yang
sesuai. Kalau dalam ranah sosial kemasyarakatan, berbangsa dan bernegara maka
standard kita adalah Pancasila. Kalau menyangkut kehidupan beragama standarnya
adalah ajaran inti agama, yakni menuju Kebenaran Yang Sejati. Tuhan yang Maha
Baik dan mengasihi setiap mahluk-Nya. Dengan demikian semoga dikehidupan
mendatang bangsa ini akan menjadi semakin baik. Amin
Komentar
Posting Komentar