Saya bersyukur di negeri yang berdiri
dan mengayomi umat beragama yang beragam ini makin banyak pemeluk agama yang
taat, yang semakin mengekspresikan bentuk kecintaan terhadap agama yang
dianutnya. Ada yang dengan bangunan, ada yang dengan karya sastra, ada yang
dengan lukisan, dll. Saya bangga karena masyarakat negeri ini adalah masyarakat
yang agamis, masyarakat yang masih tahu nilai dan norma agama. Banyak digelar
pengajian, kebaktian, pengobatan gratis, dan hal-hal positif lain yang menjadi
ajaran agama masing-masing.
Sudah menjadi hukum alam bahwa
ketika ada yang positif pasti beriringan pula dengan hal negatif. Penulis tidak
mengatakan sisi negatif agama, tapi yang dimaksud penulis adalah sisi negatif
dari fanatik terhadap satu agama yang kemudian diutarakan kepada pemeluk agama
lain bahwa bahwa tidak ada yang benar kecuali agamanya. Semua agama tidak
melarang fanatik terhadap ajarannya, bahkan dengan fanatik terhadap ajaran
suatu agama hal itu menunjukkan betapa teguhnya iman yang dimiliki seseorang.
Tapi apakah memaksakan kebenaran suatu agama kepada orang lain itu dibenarkan ?
Secara logika mahluk sosial pun kita merasa bahwa pemaksaan agama terhadap
seseorang itu tidak bisa dibanarkan.
Pertama penulis mengemukakan sebuah
ayat yang menyatakan bahwa tidak dibenarkan memaksakan iman kepada pemeluk
agama lain. Dalam QS. al-Qashas ayat 56 disebutkan “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang
kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya,
dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.”
Turunnya ayat ini berkaitan dengan peristiwa wafatnya paman Nabi Muhammad SAW
yakni Abu Thalib, yang sangat sayang kepada beliau dan melindungi serta
mendukung dakwah Rasulullah SAW. Akan tetapi Abu Thalib sendiri belum masuk
agama Islam, dan ia masih berpegang pada agama yang dianutnya. Tuhan mengatakan
dengan jelas bahwa urusan iman seseorang bukan menjadi urusan orang lain,
tetapi menjadi urusan orang itu dengan Tuhannya. Dalam ayat lain dikatakan “Barang siapa yang ingin beriman, maka
berimnlah, dan barang siapa yang ingin kafir, maka kafirlah”. Sesuai dengan
butir ketujuh dari sila pertama, yakni “Tidak
memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada
orang lain”.
Dalam agama Islam memang disebutkan
bahwa orang selain pemeluk agama Islam jatuhnya adalah hukum kafir. Tapi banyak
yang lupa bahwa ketika Rasulullah SAW telah hijrah ke Yatsrib, yang beliau
ayomi juga banyak yang kafir. Disini banyak yang lupa bahwa ajaran Islam pun
mengklasifikasikan kafir kepada dua pengertian, ada yang dinamakan kafir dzimmi dan ada kafir harbi. Kafir harbi adalah umat non muslim yang jelas memerangi umat Islam,
sedangkan kafir dzimmi adalah umat
non muslim yang mau bekerja sama, toleransi, dan hidup rukun berdampingan
dengan umat Islam. Menarik garis dengan penduduk Indonesia, apakah ada umat non
muslim yang secara terang-terangan memerangi umat Islam ? Kalaupun ada, apakah
dibenarkan umat Islam untuk bertindak anarkis, menyelesaikan masalah dengan
cara-cara kebrutalan, dan tidak mengindahkan adanya hukum yang telah disepakati
bersama oleh seluruh bangsa Indonesia ?
Oleh karena itu maka yang kedua,
penulis kembali mengaitkan dengan butir Pancasila, yakni butir keenam yang
berbunyi “Mengembangkan sikap saling
menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya
masing-masing”. Maka kembali penulis menegaskan bahwa fanatik terhadap
ajaran agama sendiri boleh dan harus, tapi tidak untuk diterapkan kepada
pemeluk agama lain. Umat beragama lain pun ingin mendekatkan dirinya kepada
Tuhan, tentu dengan cara dari ajaran agamanya.
Fanatik merupakan sebuah rasa egois
merasa paling benar dan tidak mengindahkan hal lain selain yang dianut dan
difahaminya. Fanatik yang berlebihan pasti disokong oleh nafsu amarah manusia,
yang kemudia sangat mudah disulut dengan harta dunia. Terbukti banyak kegiatan
menggunakan label agamis tapi ditunggangi kepentingan politik, monopoli
ekonomi, dll, yang semuanya itu jelas tidak ikhlas, dan apakah sesuatu yang
tanpa didasari keikhlasan akan membuahkan keberkahan ? Jawabannya pasti tidak,
fakta yang bicara, ada aksi bela Islam, ada aksi boikot, ada penolakan
pendirian patung untuk beribadah umat lain, dsb. Semuanya mengatasnamakan
agama. Agama begitu murah, agama dijadikan alat pemecah belah, agama dijadikan
pedang untuk menebas leher orang, agama dijadikan bahan mengumpat, mencaci,
mencela, dan meluka orang.
Alasan yang dikemukakan pun sangat
tidak logis, salah satunya adalah menguatkan iman. Apakah menguatkan iman harus
dengan mengacaukan keadaan yang sudah aman ? Bukankah orang yang beriman
seharusnya memberi rasa aman ? Kenapa tebang pilih dalam yang katanya aksi bela
Islam ? Kenapa Islam harus dibela ? Kenapa yang seharusnya ada aksi bela kemanusiaan
yang sudah jelas bahwa rasa kemanusiaan di negeri ini mulai dirusak tidak ada ?
Kenapa iman seseorang bisa goyah karena sebuah patung ? Padahal sejak zaman
para wali di Nusantara ini sudah bertebaran patung-patung. Untuk apa ikut
kegiatan keagamaan kalau iman saja goyah karena sebuah patung ?
Untuk
apa pakai nama pengajian kalau memicu keributan ?
Untuk
apa pakai nama kebaktian kalau tidak menambah kesejukan ?
Untuk
apa pakai nama sembahyang kalau tidak memberi ketenangan ?
Untuk
apa membaca doa kalau tersirat dendam di dada ?
Untuk
apa pakai nama ibadah kalau huru-hara makin parah ?
Komentar
Posting Komentar