Melihat wajah manusia di ahir-ahir ini, banyak raut wajah yang mencerminkan kegelisahan, kegamangan, hingga wajah-wajah yang menunjukkan amarah, dendam, dan kebencian. Seakan-akan wajah-wajah bahagia, teduh, dan tenang jarang kita jumpai. Sebagian orang beranggapan bahwa bahagia ada pada uang, harta, dll yang bersifat material, sedang yang immateri dikesampingkan bahkan dicampakkan. Tuhan dikesampingkan, ayat-ayat suci diobral dengan tarif pengajian, ilmu-ilmu pengetahuan direkayasa untuk kepentingan golongan, karya-karya ilmiah sudah tidak lagi untuk keilmuan, dll. Kalau yang demikian adalah anggapan yang benar, bisa dipastikan sebagian besar orang di zaman ini sudah bisa bahagia, kehidupan perekonomian sudah jauh lebih baik dari belasan, puluhan, bahkan ratusan tahun silam. Harta masing-masing personal sudah banyak yang bisa digunakan untuk kebutuhan pokok selama berbulan atau bertahun kemudian. Tapi faktanya banyak wajah yang tidak menunjukkan kebahagiaan.
Kalau dalam al-Qur’an dikatakan bahwa harta benda adalah perhiasan dunia, dan Allah sendiri berkata kepada dunia “Wahai dunia, layanilah siapapun yang hidup untuk mengabdi kepadaku, tapi sebaliknya perbudaklah siapapun yang hidupnya untuk mencarimu”. Maka dunia yang mendapat perintah demikian melaksanakannya dengan sangat baik. Para hamba Tuhan yang setia menjadi tuan bagi dunia, menjadi majikan dunia yang sangat dipatuhinya. Tidak ada kata kurang dan kering atas kecukupan dunia. Bisa kita lihat orang-orang pada abad pertengahan, dimana banyak ilmuan muslim yang ‘menaklukkan’ dunia sebagai ilmu pengetahuan, yang kemudian menjadi alat mendapat kecukupan harta dunia. Dan sampai saat ini pun masih bisa kita nikmati karya-karya mereka yang syahid dijalan Tuhannya. Tapi lambat laun hamba Tuhan membelot, bagi yang mencari kekayaan demi terkabulnya keserakahan nafsunya, sudah bisa dipastikan hatinya kering, tidak ada kebahagiaan, yang ia dapat hanya kesenangan. Tidak ada tangis haru bahagia karena peluh hasil kerja kerasnya, yang ada adalah gelak tawa yang bercampur desah nafas memburu hawa nafsu kepuasan dunia saja. Dan bisa kita lihat dengan runtuhnya peradaban Islam yang semula menjadi mercusuar dunia.
Nabi Muhammad SAW pernah memberikan informasi bahwa salah satu tanda kiamat adalah budak yang melahirkan majikannya. Para ahli hadits banyak yang memaknai bahwa maksud kalimat tersebut adalah banyak anak yang durhaka kepada orang tua, seakan-akan orang tua adalah pembantunya. Namun dalam tulisan ini penulis agak berbeda dalam memaknai hadits tersebut. Dalam tulisan ini menurut penulis, budak melahirkan majikan adalah dunia yang membuat orang-orang menjadi bos, menjadi orang kaya, konglomerat, dsb. Karena dunia yang seharusnya berpredikat sebagai budak manusia malah memperbudaknya, sehingga manusia menjadi orang-orang kaya yang menjadi budak dunia. Sehingga apapun akan dilakukan oleh manusia untuk melayani dunia, untuk mencapai kepuasan dunia.
Dunia diciptakan Tuhan untuk melayani manusia, tapi jika hati manusia penuh dengan nafsu dunia, pikiran manusia penuh dengan ambisi memiliki segalanya, maka tidak ada ruang untuk berpikir bahwa ada saudara kita, ada sisian hidup kita, ada mahluk-mahluk lain yang seharusnya juga menikmati dunia. Ini menjadi bukti bahwa ungkapan ‘yang nampak pada manusia menunjukkan suasana hatinya’. Kalau hatinya keruh, pikirannya kacau dan terjadi korsletting dalam otak warasnya, maka apa yang diperbuat, apa yang dikatakan, dan apapun saja yang menjadi output dari dirinya pasti membawa banyak keburukan bagi mahluk yang lain. Eksploitasi alam berlebihan, saling menjatuhkan, memprovokasi, dll menjadi camilan keseharian serta makanan pokok yang wajib dikonsumsi.
Maka bisa dikatakan ini adalah ajal kehidupan dunia, dunia sudah renta dan saat ini sedang sekarat. Kalau kita melihat orang sekarat, maka yang kita lakukan adalah menuntunnya untuk mengingat Tuhan, membacakan ayat-ayat suci, dan hal-hal baik lainnya. Mati satu tumbuh seribu, semoga dengan matinya satu kehidupan dengan karakter kedengkian,dendam dll, akan mengawali tumbuhnya kehidupan baru yang lebih tenang, jernih, dan suci.
Kalau dalam al-Qur’an dikatakan bahwa harta benda adalah perhiasan dunia, dan Allah sendiri berkata kepada dunia “Wahai dunia, layanilah siapapun yang hidup untuk mengabdi kepadaku, tapi sebaliknya perbudaklah siapapun yang hidupnya untuk mencarimu”. Maka dunia yang mendapat perintah demikian melaksanakannya dengan sangat baik. Para hamba Tuhan yang setia menjadi tuan bagi dunia, menjadi majikan dunia yang sangat dipatuhinya. Tidak ada kata kurang dan kering atas kecukupan dunia. Bisa kita lihat orang-orang pada abad pertengahan, dimana banyak ilmuan muslim yang ‘menaklukkan’ dunia sebagai ilmu pengetahuan, yang kemudian menjadi alat mendapat kecukupan harta dunia. Dan sampai saat ini pun masih bisa kita nikmati karya-karya mereka yang syahid dijalan Tuhannya. Tapi lambat laun hamba Tuhan membelot, bagi yang mencari kekayaan demi terkabulnya keserakahan nafsunya, sudah bisa dipastikan hatinya kering, tidak ada kebahagiaan, yang ia dapat hanya kesenangan. Tidak ada tangis haru bahagia karena peluh hasil kerja kerasnya, yang ada adalah gelak tawa yang bercampur desah nafas memburu hawa nafsu kepuasan dunia saja. Dan bisa kita lihat dengan runtuhnya peradaban Islam yang semula menjadi mercusuar dunia.
Nabi Muhammad SAW pernah memberikan informasi bahwa salah satu tanda kiamat adalah budak yang melahirkan majikannya. Para ahli hadits banyak yang memaknai bahwa maksud kalimat tersebut adalah banyak anak yang durhaka kepada orang tua, seakan-akan orang tua adalah pembantunya. Namun dalam tulisan ini penulis agak berbeda dalam memaknai hadits tersebut. Dalam tulisan ini menurut penulis, budak melahirkan majikan adalah dunia yang membuat orang-orang menjadi bos, menjadi orang kaya, konglomerat, dsb. Karena dunia yang seharusnya berpredikat sebagai budak manusia malah memperbudaknya, sehingga manusia menjadi orang-orang kaya yang menjadi budak dunia. Sehingga apapun akan dilakukan oleh manusia untuk melayani dunia, untuk mencapai kepuasan dunia.
Dunia diciptakan Tuhan untuk melayani manusia, tapi jika hati manusia penuh dengan nafsu dunia, pikiran manusia penuh dengan ambisi memiliki segalanya, maka tidak ada ruang untuk berpikir bahwa ada saudara kita, ada sisian hidup kita, ada mahluk-mahluk lain yang seharusnya juga menikmati dunia. Ini menjadi bukti bahwa ungkapan ‘yang nampak pada manusia menunjukkan suasana hatinya’. Kalau hatinya keruh, pikirannya kacau dan terjadi korsletting dalam otak warasnya, maka apa yang diperbuat, apa yang dikatakan, dan apapun saja yang menjadi output dari dirinya pasti membawa banyak keburukan bagi mahluk yang lain. Eksploitasi alam berlebihan, saling menjatuhkan, memprovokasi, dll menjadi camilan keseharian serta makanan pokok yang wajib dikonsumsi.
Maka bisa dikatakan ini adalah ajal kehidupan dunia, dunia sudah renta dan saat ini sedang sekarat. Kalau kita melihat orang sekarat, maka yang kita lakukan adalah menuntunnya untuk mengingat Tuhan, membacakan ayat-ayat suci, dan hal-hal baik lainnya. Mati satu tumbuh seribu, semoga dengan matinya satu kehidupan dengan karakter kedengkian,dendam dll, akan mengawali tumbuhnya kehidupan baru yang lebih tenang, jernih, dan suci.
Komentar
Posting Komentar