NABI MANUSIA



Setiap manusia hampir bisa dipastikan mempunyai idola, tokoh yang dikagumi dan disegani, sehingga membuatnya meniru apapun yang dilakukan oleh idolanya. Wajar dan memang demikianlah tabiat manusia, tapi dalam al-Qur’an Allah mengatakan ‘jangan berlebihan’, di ayat lain Dia mengatakan bahwa bisa jadi sesuatu yang kita sangka baik ternyata berimbas keburukan, begitu pula sebaliknya. Bagi penganut agama Islam, puncak dari semua idola adalah Nabi Muhammad SAW, yang sempurna dari sekian banyak mahluk Tuhan.
            Tapi apakah seluruh tingkah laku dan ucapan Nabi Muhammad kita tiru ? Menurut saya tidak, sebab Tuhan pun mengatakan bahwa Muhammad adalah manusia biasa. Jasadnya juga bisa lapar, bisa haus, bisa lelah, bisa lupa, bisa marah, dsb. Nabi pun pernah berkata bahwa dia tidak lebih tahu dari salah satu sahabatnya dalam perawatan kurma. Ini artinya Nabi pun masih bisa salah dan lupa dari sisi kemanusiaannya. Sisi yang lain adalah sisi kenabian, dimana dia tidak akan pernah salah karena dibimbing wahyu dari Tuhan. Nabi selalu menyambungkan hati dan fikirannya kepada Tuhan, sehingga kecerdasan, ingatan, kearifan, perasaan, dan emosinya bisa dikatakan lebih terkontrol dari fisiknya. Mungkin sebaiknya sikap yang kita ambil adalah meniru Nabi dari segi substansi tindakan dan ucapannya, bukan secara letter leg tanpa memperhitungkan inti dari ucapan dan perbuatannya.
            Manusia adalah mahluk yang unik, salah satu keunikannya adalah ingin berbeda dengan yang lain. Begitu pula dalam hal meniru tokoh panutan yang sama, ada yang meniru pakaiannya, ada yang meniru tutur katanya, ada yang meniru gaya rambutnya, ada yang meniru perbuatannya, ada yang meniru inti perbuatannya, cara berpikirnya, dll. Lucunya diantara mereka sering terjadi percekcokan karena perbedaan cara meniru yang mereka buat sendiri. Kita ambil contoh di Indonesia, ada umat Islam yang meniru Nabi Muhammad SAW dari cara berpakaiannya, memakai gamis, memakai celana diatas mata kaki, mengenakan surban di kepala. Ada lagi yang meniru Nabi Muhammad dari bahasanya, sehingga gaya bahasanya kearab-araban. Ada juga yang meniru Nabi dari esensi ucapan dan perbuatannya, sehingga lebih membuka jendela keilmuan dengan cara berpikir kritis dan memakai berbagai perspektif kehidupan. Semuanya baik, karena yang ditiru adalah manusia yang baik, tapi yang salah menurut saya adalah ketika terlalu berlebihan sehingga terkesan alay dan membuat citra umat Islam adalah umat yang hanya berkutat pada hal-hal sepele.
            Sepele dadi sepolo, kriwikan dadi grojogan
            Berawal dari masalah kecil yang dibesar-besarkan membuat kita semakin bingung dengan hidup kita. Agama yang hadir ditengah-tengah manusia yang salah satu fungsinya mempermudah kehidupan manusia baik vertikal maupun horizontal malah dijadikan alat untuk mempersulit hidup, mempersempit wawasan, membius kesadaran, serta memperkecil kedewasaan. Carut marut semrawutnya kehidupan membuat manusia membuat peraturan untuk mempermudahnya, tapi lagi-lagi lucunya peraturan yang dibuat diberlakukan untuk dilanggar. Ketika sudah melanggar aturan maka manusia itu berkata kepada yang lain bahwa ia telah dizalimi, difitnah, dsb.
            Setelah tertimbun dan terperangkap dalam masalah maka yang dibutuhkan adalah pengurai masalah itu. Tampil orang-orang yang berbelas kasihan dan ingin membantu saudaranya yang tertimpa masalah untuk membereskannya. Tapi tidak mudah bagi yang berbelas kasihan untuk mengasihani saudaranya itu, si pembuat masalah malah membikin masalah baru sehingga makin menurunkan derajat kemanusiaannya. Dia semakin marah, geram, ya wajar saja orang marah jika dalam kondisi seperti itu. Yang tidak wajar adalah sedikit-sedikit marah, sebentar-sebentar marah.
            Kalau umat Islam pasti memahami bahwa Nabi pun pernah marah, Nabi pun pernah kesal. Dalam pemahaman yang singkat bisa diambil kesimpulan bahwa Nabi marah maka saya atau kami juga harus marah jika dalam situasi dan kondisi seperti Nabi. Coba diperjelas lagi, apakah Nabi melampiaskan kemarahannya ? Tidak, Tuhan menegur Nabi agar tidak melampiaskan amarahnya, bahkan ketika Nabi dilempari batu hingga berdarah dan datang malaikat untuk mengazab para pelempar batu itu, Nabi melarangnya, Nabi tidak pemarah, Nabi tidak pendendam. Nabi memandang umatnya dengan pandangan kasih sayang, pandangan yang arif, bukan tatapan bengis dan merendahkan. Nabi bertutur dengan sopan dan santun, tidak dengan provokasi dan sumpah serapah. Nabi marah dalam kondisi yang memang mengharuskan beliau marah secara firah manusia. Tapi Nabi mengendalikan kemarahan sebagai representasi nilai agama yang dibawa.
            Maka, sebagai manusia yang sudah diberi Tuhan akal dan agama lebih baik kita jadikan semua perbedaan menjadi indah. Bukan lagi masalah benar salah, baik buruk, tapi indah dan tidak indah. Keindahan yang tidak egois, keindahan dari kebersamaan, keindahan yang merupakan tajalli dari Yang Maha Indah. Kita pertegas pribadi masing-masing, kita pertegas perbedaan, namun diantara perbedaan itu jangan sampai ada garis pembatas, sebab dalam keindahan sebuah lukisan yang ada adalah pertemuan warna dengan warna, bukan garis dengan garis.

Komentar