BUDAYA REBUTAN PERADABAN ‘SHORTCUT’



Rebutan merupakan suatu hal yang dilakukan benyak orang untuk meraih sesuatu, karena menganggap sesuatu itu bernilai tinggi sehingga dapat memberi kemanfaatan atas pribadi maupun kelompoknya. Dalam agamapun diperbolehkan kita melakukan rebutan, namun yang direbut adalah kebaikan dan kedermawanan Tuhan, bukan  rebutan barang-barang murah yang diobral setan dengan dalil ketuhanan. Ada yang rebutan mencari informasi untuk kebaikan bersama, ada yang rebutan mencari uang halal untuk keluarga, pun pula ada yang rebutan jabatan untuk menaklukkan semuanya. Semua cara dibenarkan asal tujuan tercapai dan impian tergapai, tak peduli banyak korban yang terlukai dan lemas terkulai.
Salah satu senjata yang pas untuk melakukan rebutan atau merebut adalah media komunikasi, terutama media komunikasi elektronik, yang saat ini dengan sangat mudah kita dapatkan aksesnya. Setahu saya tujuan diciptakannya alat komunikasi adalah untuk mempermudah penyampaian informasi dalam rangka sosialisi antar makhluk. Informasi yang disampaikan beragam, ada yang positif, ada yang negatif. Tapi sebagai manusia apakah Tuhan menyuruh kita untuk menyebarkan hal negatif ? Sementara Tuhan sendiri Maha Menutup Aib para hamba-Nya.
            Makin hari makin banyak kita jumpai di media sosial kita beragam informasi yang menjatuhkan orang atau kelompok lain. Dari berbagai sisi berlomba-lomba menjatuhkan seseorang dan ketika sudah berhasil dan bisa tersenyum jumawa maka hukum alam berlaku. Siapa yang menanam dia yang menuai. Ganti kemudian dirinya yang dijatuhkan orang lain, hingga ahirnya kalang-kabut menyelamatkan diri.
            Hingga ahirnya terlihatlah bahwa semua yang dilakukannya dulu adalah rekayasa dan berawal dari memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompok tertentu, tidak untuk kemashlahatan, kebaikan, kemanfaatan bersama dalam sebuah kehidupan, baik berbangsa, bernegara, beragama, dsb. Disini terlihat jelas pengesampingan nilai kebersamaan dan kebersatuan merupakan imbas dari pengkerdilan nilai ketuhanan. Bung Karno dalam rumusan Pancasila-nya mengatakan ketuhanan yang berkebudayaan. Kita bungkus jiwa ketuhanan kita dengan budaya yang luhur, budaya yang menunjukkan bahwa daya cipta, rasa, dan karsa kita bersinergi dengan dimensi vertikal kepada Tuhan.
            Alih-alih mendapatkan keadilan dan ketenangan dari membaca sebuah berita, hari ini kita dapati dendam dan kegelisahan setelah melihatnya. Pasalnya yang menjadi target media saat ini adalah bukan lagi mewujudkan cita-cita luhur bangsa ini dalam UUD ’45, mencerdaskan kehidupan bangsa, akan tetapi sebaliknya membodohi bangsa dengan cara elegan dan tertata. Mundur sebelum itu, diporak-porandakan dulu cara berpikir dan cara bersikap bangsa terhadap media. Caranya adalah dengan membumbui media dengan sedapnya agama, bau keindahan surga, rohaniawan bayaran, ustadz dadakan, pendeta pesanan, dan masih banyak lagi setan berjubah kenabian.
            Bukan berarti disini penulis menganggap paling suci dari semuanya, tapi disini penulis mencoba mengutarakan tafsir atas hal-hal yang terjadi disekitar kita. Kita lompat dulu keluar dari berbagai bulatan media-media yang menebarkan informasi, kita amati dari kejauhan polanya, sehingga kita bisa menentukan bagaimana formula untuk menghadapinya. Tapi tidak perlu kita publish ke media tatkala kita sudah menemukan pola, cara, bahkan telah berhasil atas eksperimen kita itu. Biarkan saja publik mengetahui dengan sendirinya, karena dengan hal itu kita turut melatih tingkat kepekaan mereka yang sudah hilang terhadap hal-hal yang bernilai kebenaran, apalagi kebaikan dan keindahan.
            Kalau melihat dari misi dakwah Nabi Muhammad SAW, beliau menyerukan manusia untuk bertauhid, meniadakan selain Allah, mengkerdilkan selain Allah. Ikrarnya jelas bahwa tiada ilah selain Dia. Kalimatnya menggunakan kata ilah, dimana ilah mengandung makna Tuhan Yang Maha Disembah, paling berhak disembah, mengandung makna sifat maskulin, kekuasaan, kekuatan, kebesaran, serta keagungan terhimpun dalam sebutan Tuhan di kata ilah. Saat ini banyak yang menuhankan yang bukan Tuhan, menganggap bahwa figur yang diikuti adalah benar, paling benar, dan berkuasa untuk menentukan hidup dan mati seseorang, hingga membelokkan hukum yang telah ditetapkan Tuhan sendiri.
            Selain kedangkalan dalam berpikir, faktor lain yang penulis temukan adala h gaya hidup yang serba ingin cepat, instan. Ketika orang menginginkan hasil maksimal dengan proses yang singkat, maka disaat itu dia akan membuat shortcut yang bisa mengantarkannya paling tidak beberapa langkah menuju keberhasilannya. Bukan berarti penulis menjelekkan shortcut, tidak sama sekali. Namun jika yang dipakai adalah shortcut, suatu saat jika ia telah berhasil mencapai tujuannya, ketika shortcut dihapus maka bingung dan kalang kabutlah dia. Bisa jadi dia membuat shortcut baru atau memulai secara manual. Kalau dia tahu konsep dan paham membuat shortcut ya ndak masalah, tapi orang seperti ini fatalnya adalah mempunyai pengikut, yang mana pengikutnya tidak faham sama sekali tentang rencananya dibalik program yang dibuat shortcut-nya.
            Pemilahan dan pemilihan shortcut disini menjadi penting dilakukan, terkait dengan untuk apa dibuatnya, ditaruh dimana, kapan, dan bagaimana menggunakannya. Sebab agamapun menghendaki kemudahan untuk mencapai sesuatu, agama tidak sedikitpun menghendaki kesulitan bagi pengikutnya. Kalaupun ada yang sulit maka itu berasal dari penyikapan manusia itu sendiri sebagai pemeluk agama. Kuncinya adalah keajegan dalam bersikap arif, baik mamahami diri sendiri, orang lain, alam lain, hingga memahami Nabi Muhammad SAW dan Allah SWT. Dengan demikian setidaknya kita memiliki filter, serta memiliki tiang pancang sebagai penopang selain kitab suci dan pesan-pesan baginda Nabi SAW.

Komentar