ADA PANCA UNTUK YANG BHINEKA

Dalam tulisan ini, saya berangkat dari salah satu kalimat dari salah satu guru saya waktu di SMA dulu, beliau mengatakan bahwa dalam sebuah lukisan tidak ada yang namanya garis pembatas, yang ada adalah pertemuan warna-warna yang seakan-akan membentuk garis. Kalau saya cermati makna dalam kalimat tersebut, saya dapat memahami bahwa dalam interaksi antara sesama mahluk maupun interaksi antara Tuhan dengan ciptaan sebenarnya tidak ada batas. Namun bahasanya bila antara Tuhan dengan ciptaan adalah tidak ada hijab, sedang jika antar mahluk adalah tidak ada perbedaan.
            Tidak adanya perbedaan diantara mahluk yang penulis maksud adalah meleburnya beragam karakter, nilai, dan budaya dalam sebuah persamaan yang menimbulkan keselarasan harmoni kehidupan. Menarik garis kepada perbedaan yang ada dalam kehidupan, penulis menemukan beberapa poin yang agaknya perlu disadari agar kehidupan ini dapat berjalan serasi, serta dapat dinikmati keindahannya.
1.      Setiap mahluk diciptakan dengan karakter yang berbeda

Kalau didalam kitab suci umat Islam Tuhan berkata bahwa setiap wajah memiliki karakter tersendiri. Wajah dapat diartikan sebagai wajah manusia, wajah jin, wajah hewan, wajah malaikat, wajah setan, wajah tumbuhan, wajah batu, dan berbagai ciptaan Tuhan yang lain. Kalau kita cermati tidak ada satu pun mahluk Tuhan yang diciptakan sama. Pasti ada perbedaan entah sekian persen perbedaan itu. Meskipun secara fisik kembar dan sama persis, pasti ada perbedaan mungkin dari sisi psikisnya. Sama-sama batu, tapi batu A berbeda dengan batu B, strukturnya, susunan prtikelnya, serta tempatnya pun berbeda.

2.      Tujuh warna pokok pelangi merupakan uraian dari satu warna
Dulu dipelajaran IPA ada yang namanya spektrum warna, dimana pada saat praktikum saya ditugaskan untuk membuat sebuah lingkaran dari kertas karton tebal dan mewarnainya dengan tujuh warna pokok, me-ji-ku-hi-bi-ni-ung. Setelah diwarnai dengan tujuh warna itu, lingkaran tadi diberi poros tengah dengan tutup spidol, lalu diputar seperti gasing. Semakin cepat putaran, maka tujuh warna tadi seakan hilang, dan yang ta,pak adlah warna putih. Dari sini saya belajar bahwa ketika perbedaan itu disikapi cepat dan cerdas maka perbedaan seakan hilang, yang ada adalah semangat untuk terus berpacu dalam kehidupan, berpacu untuk terus kreatif dan inovatif. Ketika sudah bersatu dan bergerak maju maka yang terlihat adalah warna putih, warna lambang kesucian, lambang kebersihan jiwa. Dimana jiwa-jiwa yang bersih dipanggil Tuhan dengan panggilan yang indah dan mendapat kerelaan dari-Nya.
3.      Mengaku yang benar atau mengaku sedang berusaha benar

Dalam Islam ada sebuah hadits Rasul SAW yang menyatakan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 golongan masuk surga, sedang yang 1 golongan masuk surga. Dari sekian banyak umat Islam di dunia, menurut penulis masing-masing kelompok mengaku bahwa mereka adalah 1 kelompok terahir yang dijamin surga, sementara kelompok lain adalah bagian dari 72 kelompok yang masuk neraka. Menyikapi hal ini penulis berpikir apakah tidak lebih baik jika masing-masing kelompok mengaku bagian dari 72 yang masuk neraka sehingga berusaha untuk memenuhi kriteria kelompok terahir yang dijamin surga ? Masing-masing mengakui kekurangan atas kelompoknya serta mencoba mengambil hikmah positif dari kelompok lain. Mungkin dengan demikian tidak akan terjadi peristiwa memuncaknya egoisme kelompok yang kemudian menimbulkan bentrok.

4.      Berpencar dalam sebuah kesatuan
Tuhan menempatkan setiap mahluk-Nya di tempat dan waktu yang berbeda-beda. Namun semuanya pasti memiliki poros yang menjadi titik pusat kehidupannya. Jangan disangka batu, air, logam adalah benda mati, Tuhan menegaskan setiap yang ada di langit dan bumi bertasbih kepada-Nya. Manusia sebagai salah satu mahluk yang diberi kewenangan oleh Tuhan untuk menjalankan kehidupan di bumi seringkali menganggap bahwa dia adalah yang terbaik, dia adalah yang terhebat, padahal tidak selalu akal dan hati manusia disambungkan kepada titik pusat kesejatian, Tuhan Yang Maha Esa.
Banyak manusia berpencar diberbagai belahan dunia, namun mereka dipersatukan Tuhan dalam satu sifat, satu karakter, satu momen, atau satu waktu. Misalnya saja manusia di Eropa berbeda dengan manusia yang ditempatkan Tuhan di Asia, namun semuanya disatukan Tuhan dalam cara tangis dan tawa, penyebab tangis dan tawa, akibat tangis dan tawa. Manusia diberi Tuhan persamaan karakter, semua bisa marah, bisa sedih, bisa senang, bisa malu, dll. Dalam satu momen Tuhan juga menyamakan manusia, dalam ibdah haji misalnya, semua berkumpul di sekeliling Ka’bah dan beribadah disana. Dalam seminggu sekali umat Kristiani dikumpulkan Tuhan di Gereja, setahun sekali umat Budha dikumpulkan dalam Waisak, dst. Disini dapat kita ambil hikmah bahwa Tuhan memang sengaja membuat perbedaan, Tuhan serius dalam membuat perbedaan, karena Dia memang benar-benar Maha Kreatif.

5.      Menjadikan perbedaan sebagai rahmat

Nabi SAW pernah mengajarkan bahwa perbedaan adalah sebuah rahmat. Beliau tidak menjelaskan perbedaan apa yang dimaksud, serta siapa yang berbeda. Ini menunjukkan bahwa kita diberi peluang untuk melakukan pencarian serta menentukan rahmat dari perbedaan yang ada. Mau beda warna, berda parpol, beda agama, dll. Buktinya sudah banyak, salah satunya beda kelamin saja membawa rahmat Tuhan. Sehingga bila kita temukan perbedaan namun tidak membawa rahmat maka yang salah bukan rahmatnya yang tidak mau datang, tapi manusia sendiri yang salah dalam mendatangkan rahmat itu. Tentu yang dimaksud rahmat adalah kebaikan kasih sayang bagi semua yang terlibat dalam perbedaan itu, bukan untuk individu maupun golongan tertentu saja.
Kiranya Tuhan menghendaki manusia mahluk-Nya untuk saling mengasihi, karena Dia sendiri mengasihi setiap mahluk-Nya dengan sepenuh hati. Maka melaui Nabi-Nya Dia mengatakan bahwa setiap mahluk-Nya yang teraniaya diberi-Nya kesempatan untuk melaporkan langsung kepada-Nya, dan laporan itu langsung diterima oleh Tuhan tanpa perantara. Maka tidakkah lebih baik jika mencoba menyamarkan perbedaan dengan memperkuat kepribadian sebagai bekal untuk maju dan melangkah bersama dengan yang lain, mewujudkan keselarasan menuju kesejatian.

Komentar