Kegelisahan Keluar Masuk

             Tulisan ini berawal dari kegelisahan dan kebingungan saya ketika di dalam kampus serta ketika diluar kampus. Di dalam kampus, banyak dosen yang mengatakan bahwa menjadi orang harus profesional, memiliki segenap kemampuan yang mumpuni untuk layak mendapatkan gaji yang besar. Namun di sisi lain, ada guru saya yang mengatakan bahwa setiap orang sudah dibekali Tuhan dengan potensinya masing-masing, tinggal bagaimana dia mengelaborasi serta mengembangkan potensinya tersebut untuk kemashlahatan sebanyak mungkin orang, tanpa ada niatan untuk mengambil suatu keuntungan sedikitpun dari perbuatannya tersebut.
            Ilmu yang dikatakan sesuatu yang mulia, ilmu dipahami sebagai materi yang dapat diajarkan. Padahal ilmu tidak dapat dilihat. Sesuatu dikatakan sebagai materi bila dapat dilihat wujudnya, sedangkan ilmu yang bisa dirasakan adalah manfaatnya. Bila ada orang mengatakan “toko material” maka yang dijual jelas sesuatu yang bisa dilihat wujudnya, serta dirasakan manfaatnya. Hal tersebut lumrah karena memang materi bisa dilihat dan bisa diperjual belikan. Namun bila ada orang mengatakan “majelis ilmu”, dan disitu terdapat suatu transaksi antara audien dengan pembicara atau penceramah, apakah hal tersebut bisa dikatakan menjual ilmu ??? Padahal semestinya ilmu tidak bisa dan tidak mungkin diperjualbelikan. Salah satu syarat jual beli adalah bendanya nyata, membeli anak sapi yang masih dalam rahim induknya saja diharamkan.
            Suatu tingkah laku demikian agaknya berangkat dari konsep materialis yang disalahkaprahkan dengan menganggap semuanya adalah materi, padahal Tuhan bersifat immateri. Begitu pula ‘ilmu’ yang merupakan salah satu sifat Tuhan, Dia disebut “al-Aliim”, Yang Maha Berilmu. Sebagai orang yang beragama, tentu saja wajib mengetahui, memahami, serta mengamalkan apa yag diajarkan dalam agama yang dianutnya. Namun, lagi-lagi agama seakan dipahami sebagai sebuah materi, yang bisa dicicil kepemilikannya, dinegosiasi sifat dan ketentuannya, serta ditawar nilai luhurnya. Akibatnya, pemahaman terhadap agama hanya dilakukan secara satu sisi, misalnya sisi ketuhanan saja, atau sisi kemanusiaan saja, atau sisi ekonomi saja. Agama seakan terpecah, terkotak-kotak, dan masing-masing kotak berisi kartu-kartu ajaib yang dapat digunakan menyulap keadaaan hidup sekelompok orang.
            Banyak yang seakan tidak sadar bahwa yang demikian itu adalah suatu sikap yang menyimpang dari nilai kemanusiaan. Mengapa demikian ?? Sebab orang yang memiliki ilmu dianggap dapat dibeli, ditawar, dan bahkan dapat digunakan sesuai dengan kepentingan, sesuai situasi dan kondisi yang menguntungkan satu pihak, serta menghancurkan pihak yang lain. Bila telah demikian, maka akan muncul ahli agama dalam kotak ekonomi, ahli agam dalam kotak politik, ahli agama dalam kotak sosial, ahli agama dalam kotak kesehatan, dll. Padahal semestinya ahli agama adalah orang yang mengusung kotak-kotak tersebut, dan menjadikannya dalam satu lemari, serta memahaminya.
            Estafet selanjutnya adalah orang-orang yang belum paham akan suatu ilmu dan agama menjadi bingung dan enggan mengklarifikasi sebuah informasi yang diterimanya, entah informasi politik, agama, ekonomi, sosial, budaya, dll. Keengganan mengklarifikasi tersebut merupakan output dari mindset bahwa semua yang ia terima dari orang yang dianggap pakar, tokoh, atau panutannya dia anggap benar, dan kebenarannya ia anggap mutlak. Alhasil, muncullah orang-orang yang enggan melakukan perenungan dan penalaran terlebih dahulu sebelum bertindak. Apa yang dikatakan dan disabdakan penutannya dijadikan ‘sabda pandhita ratu’ yang harus ditaati, demi mendapat iming-iming yang yang dijanjikan penutannya tersebut. Padahal logikanya, jika panutan mereka memberikan iming-iming pasti dia telah merasakan nikmatnya suatu yang menjanjikan itu. Sementara kedua belah pihak belum pernah menjajaki apa yang hanya ada di angan-angan mereka.
            Bukan berarti disini saya mengatakan anti terhadap cita-cita, reward akan sebuah usaha, angan-angan, dsb. Namun terbaliknya pemahan akan materi dan immateri agaknya perlu dibenahi. Ilmu bersifat immateri, teori bersifat immateri, tapi hasil dari sebuah ilmu, dari sebuah teori adalah materi, materi baru atau ilmu baru. Yang terjadi saat ini adalah yang abstrak dianggap wujud, yang wujud dianggap abstrak, yang suwung dianggap isi, yang isi dianggap suwung, yang penting dibesarkan, yang besar diremehkan, dst.

Komentar