Kejujuran adalah mengakui dan melakukan sebuah keniscayaan. Sebuah
kejujuran merupakan hal yang biasa kita dengar namun sangat sangat sulit kita
lakukan. Bahkan terhadap diri sendiri pun kita sering menutupi hal-hal yang
harus kita akui keniscayaannya. Bukannya kita lemah dan pasrah dalam menghadapi
semuanya, namun hal ini adalah sebuah titik pertama untuk memulai pengembaraan
baru yang akan lebih membuat kita nyaman dalam babakan baru kehidupan kita.
Dalam kehidupan dunia ini mau tidak mau ada yang dinamakan dengan daur. Orang
mengatakan bahwa hidup bagaikan roda berputar, kadang diatas, kadang dibawah.
Dengan kejujuran tersebut kita akan terbantu dalam menmukan strategi yang harus
kita gunakan dalam menghadapi dan menjalani hidup.
Banyak orang menuntut sebuah kejujuran dari orang lain. Tapi ketika
orang lain mengatakan dan melakukan sesuatu dengan jujur, alih-alih
mengapresiasi malah mereka menghina dan menghujatnya. Pun begitu pula ketika
orang menutupi dirinya, menutupi apa yang menjadi karakternya yang
sesungguhnya, ia juga akan mendapat label sebagai orang munafik. Memang ia
telah munafik kepada dirinya sendiri dengan orang lain. Akan tetapi ketika
orang tidak mau menerima kejujuran orang lain, bahkan menghujatnya, saat itu
pula ia telah menjadi seorang munafik.
Ada orang mengatakan ‘semua itu ada batasnya’, memang ya, semua ada
batasnya, ada ajalnya. Begitu pula kejujuran kita, hendaklah kita jujur
sejujur-jujurnya pada diri sendiri, karena dengannya lah kita dapat mengenali
diri kita dan memahami kebenaran sejati. Namun kepada orang lain, terhadap
lingkungan kita ada batasan yang dibuat Tuhan dalam kehidupan sosial, yakni
nilai dan norma yang merupakan pengejawantahan pemikiran dari akal
masing-masing manusia dalam sebuah kelompok yang bernama masyarakat. Maka sebagai
bagian dari masyarakat, kejujuran individu dibatasi hanya kepada orang yang
memiliki kesamaan cara berpikir dengannya.
Terhadap yang berbeda dengan persepsi kita, maka kita pun harusnya
jujur dalam menerima keniscayaan tersebut. Satu hal yang menjadi kunci kehidupan
bermasyarakat adalah saling menghargai, toleransi. Ada yang mengatakan bahwa
toleransi ada batasnya, memang benar toleransi pun ada batasnya. Batasnya
adalah kehidupan pribadi seorang individu. Selama kehidupan kita tidak mengusik
kehidupan individu lain maka toleransi hendaklah dibuka seluas-luasnya.
Sulitnya menyatukan cara berpikir manusia memang sebuah
keniscayaan, karena Tuhan memang tidak menghendaki demikian. Dia menghendaki kemajemukan
kehidupan dunia. Pun walau demikian, manusia juga didesain menciptakan
kesamaan-kesamaan dan keserasian dalam perbedaan. Kesamaan itulah yang
hendaknya diangkat agar menjadi harmoni yang indah dalam hidup. Kesamaan itulah
yang hendaknya diwujudkan dan diterima dengan kejujuran. Bukan dengan
kemunafikan untuk mempertahankan persepsi masing-masing.
Letak agama dalam kehidupan sosial adalah mengatur bagaimana
manusia dapat saling mengapresiasi dengan baik semua perbedaan yang ada.
Mencari kebaikan yang ada dalam setiap ayat Tuhan yang datang padanya. Bukan mencari
kesalahan dan menghakimi dengan menghantam dengan ayat lain dari Tuhan. Sedang
dalam kehidupan individual peran agama adalah mengatur bagaimana individu tersebut
berhubungan vertikal dengan Tuhannya. Orang lain tidak berhak ikut campur,
karena ini bersifat individual. Kecuali pada saat individu tersebut membutuhkan
bantuan orang lain dalam bertemu dengan Tuhannya. Bersama menghadap Sang Pencipta
kemudian kembali dengan fitrah kemanusiaannya.
Kejujuran itu seringkali pahit
dilakukan, namun membawa efek yang besar dalam kehidupan. Namun dengan
kejujuran tersebut orang dapat menjalani kehidupannya dengan tenag, rileks, dan
seakan tanpa beban. Beban-beban hidupnya ia akui dan ia selesaikan dengan penuh
kebahagiaan, karena kejujurannya dalam menjalani hidup. Jujur sebagai titik awal
menjalani kehidupan yang indah dan bahagia.
Komentar
Posting Komentar