Pemikiran materialis agaknya telah menjadi bagian terbesar dan
semakin membesar dalam kehidupan kita. Alih-alih memegang tambuk kekuasaan atau
posisi utama kehidupan keagamaan ternyata masih saja berkecimpung dalam
kebendaan. Memang tidak ada pelarangan dalam penggunaan tolak ukur materi dalam
melakukan sesuatu, yang ada hanyalah batasan prosentase tertentu dalam
penerapannya. Inilah yang terkadang dan semakin sering dilanggar dan
ditingkatkan kadar materialisnya dalam kehidupan.
Banyak yang lebih
mengutamakan olahraga daripada olahjiwa atau olahrasa. Padahal rasa yang ada
dalam nurani bagaikan air bening yang suci, yang nantinya akan dapat membawa
kemashlahatan berupa kesucian kepada pengguna air tersebut. Memang kita tidak
bisa menyalahkan zaman yang terus berubah, namun kehilangan jati diri,
kehilangan patokan sebagai titik tolak dalam bersikap berakibat hilangnya rasa
percaya diri dan tergerus dan tergilas zaman.
Ketika saya
membaca beberapa kamus, kebanyakan menyamakan antara kedudukan teman dan
sahabat. Padahal posisi teman terletak pdan berdasarkan asumsi materialis dan
kuantitas. Misalanya saja di akun media sosial ada orang yang memiliki 5000
teman bahkan lebih, tapi ketika ditanya apakah Anda kenal masing-masing dari mereka
? Dia menjawab tidak, hanya beberapa dari mereka yang dia kenal. Orang itu
seakan tak peduli dengan tanggung jawab sosial bahwa dia diciptakan untuk
saling mengenal dan saling memahami. Begitu pula saya sebagai penulis, dari
sekian banyak teman saya di akun media sosial, mungkin <200 orang yang saya
tau, saya kenal, selebihnya mungkin lupa atau bahkan tidak pernah kenal sama
sekali.
Sementara sahabat,
sahabat itu orang yang ada untuk kita dalam kondisi apapun. Pengertian sahabat
diambil berdasarkan rasa sosial dan cinta kasih. Sahabat itu mau menerima
keadaan sahabatnya. Dia tidak terusik oleh apapun yang dilakukan sahabatnya.
Dia akan memberi dukungan apapun untuk sahabatnya. Tapi tidak serta-merta dia
mendukung keputusan dan perbuatan sahabatnya itu. Seorang yang menjadi sahabat
adalah orang yang mengerti rasa dan paham akan adanya proses jalan kehidupan
setiap orang yang berbeda. Sehingga dalam memberikan dukungan masih ada
rambu-rambu yang mencegah dan memperingatkannya.
Namun saat ini
pemahaman akan sahabat mulai luntur, semua bisa dikatakan sahabat, semua bisa
dikatakan teman. Sehingga muncul problem bahwasanya teman dan sahabat diukur
dan ditentukan berdasarkan kuantitas materinya, yang kuantitas materinya banyak
dapat dijadikan sahabat, namun tidak sebaliknya. Sehingga ketika materi telah buyar,
maka pupus sudah persahabatan.
Maka sikap yang
kiranya perlu diambil adalah kembali memahami rasa dan cita rasa dari setiap
yang ada ini. Kita belajar bagaimana perpaduan rasa, dan belajar memadukan rasa
sehingga tercipta sebuah rasa baru yang nikmat, syahdu, dan penuh kekhusyukan
dan syukur kepada Tuhan. Agar apa yang terjadi dapat kita sikapi dengan arif
dan kita tidak kehilangan keseimbangan dalam perjalanan kehidupan.
Komentar
Posting Komentar