Nilai Ketuhanan sebagai Landasan Perbaikan Kehidupan Berbangsa dan Bernegara




 Berbicara mengenai ketuhanan serta nilai didalamnya, maka kita tidak bisa melupakan arti kata “Tuhan”. Tuhan dalam bahasa Arab disebut dengan Ilaahun, bisa juga disebut dengan Rabbun. Ilaahun adalah sebutan bagi Tuhan atas dasar sifat kebesaran dan kekuasaan-Nya. Sedangkan Rabbun adalah sebutan bagi Tuhan atas dasar keindahan dan kelembutan-Nya. Dengan agama yang dibawa para utusan-Nya Tuhan memperkenalkan diri kepada para hamba-Nya. Di Indonesia sebelum datangnya agama-agama yang kini disahkan oleh Negara sudah ada agama atau kepercayaan terhadap Tuhan YME. Sehingga masuknya agama-agama pendatang membutuhkan proses penyesuaian dengan kepercayaan lama dan budaya masyarakat lokal. Dari sekian agama-agama yang masuk ke Indonesia, sampai saat ini yang masih tetap eksis dan dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia adalah Islam. Tentu hal tersebut tak lepas dari peran dakwah para muballigh di masa silam yang kita kenal dengan sebutan Walisongo.
Berangkat dari asal kata “Tuhan” yakni Rabbun. Walisongo melakukan dakwah Islam di Nusantara yang disebut Tarbiyah. Tarbiyah berasal dari bahasa Arab Rabba-Yurabbi-Tarbiyah, yang artinya membimbing atau mengasuh, pelakunya disebut Murabbi (pembimbing, pengasuh). Walisongo berusaha mengganti ajaran dan kebudayaan yang bertentangan dengan syariat Islam. Cara yang ditempuh adalah dengan akulturasi dan asimilasi budaya lokal dengan ajaran Islam. Dengan cara itu banyak masyarakat Nusantara yang memeluk agama Islam dan meneruskan perjuangan Walisongo melakukan dakwah.
Dakwah Islam di Nusantara yang dilakukan Walisongo dan para penerus mereka berdasarkan pada esensi hubungan sosial yang Islami, yakni rahmatan lil ‘alamien (kasih sayang untuk alam semesta), sebagaimana implementasi dari Rabbun (mengasuh). Dari dakwah Islam yang demikian nilai-nilai luhur nenek moyang bangsa Nusantara tetap terjaga, terbukti dengan kesepakatan seluruh rakyat Indonesia akan Pancasila.
Akan tetapi seiring perjalanan sejarah bangsa Indonesia, saat ini mulai banyak bermunculan kelompok-kelompok ekstrem, yang kebanyakan mengatasnamakan Islam melakukan dakwah dengan kurang memperhatikan karakter, pola pikir, dan kemajemukan masyarakat Indonesia.Kelompok-kelompok ekstrem tersebut lebih mengdepankan aspek "Ilaahun" yang melambangkan sifat keras dan tegas, atau dalam asma'ul husna disebut sebagai sifat Jalaliyah. 
Untuk menyeimbangkan antara Rabbun dan Ilaahun maka penempatan diri manusia atau penyesuaian manusia terhadap dua yang seakan berlawanan tersebut menjadi viral, tergantung dengan situasi dan kondisi seperti apa yang menharuskan manusia memilih menghayati sikap Rabbun atau Ilaahun

Menarik garis kepada social network

Jejaring sosial atau social network bukan menjadi hal yang baru bagi sebagian besar masyarakat dunia, termasuk pula Indonesia. Dilihat dari namanya saja social network adalah sebuah media yang digunakan untuk mempermudah melakukan hubungan sosial. Terlebih lagi lebih menguntungkan dengan menghemat tempat dan biaya. Selain itu banyak pula manfaat lain, terutama untuk menyuarakan pendapat atau ide-ide yang kurang bahkan tidak diterima di dunia nyata.
Namun demikian bisa pula social network menjadi senjata makan tuan bagi pencetus ide-ide baru yang tidak diterima tadi. Sebab dalam penggunaan social network, pengguna lebih mengedepankan penghayatan sifat Ilaahun, yakni diktator dan otoriter kepada orang atau akun lain. Tidak bisa dipungkiri bahwa misalnya ada sebuah postingan yang kurang sejalan atau bahkan tidak sejalan dengan jalan atau metode berpikir seseorang, maka orang itu bisa dengan mudah menghujat, menyalahkan, bahkan menghakimi si pembuat postingan. 
Masing-masing mengedepankan penghayatan Ilaahun atau otoriter dan diktator, maka hilanglah tolak ukur menggunakan rasa atas sesuatu di dunia maya. Suatu postingan bisa menjadi multitafsir karena persepsi yang berbeda, tanpa ada konfirmasi dan legitimasi yang jelas dari pembuat postingan tersebut sehingga banyak mencuat yang dikatakan "hoax" alias kabar burung.

Lalu dimanakah penghayatan sifat Rabbun yang berkarakter lemah lembut dan kasih sayang ? 

Penghayatan sifat Rabbun di social network kebanyakan diperuntukkan kepada masing-masing personal. Artinya setiap pemilik akun merasa dia ditolerir dalam mengeluarkan postingannya, atau dalam bahasa lebih sederhana dikatakan GR (gede rasa). Pemilik akun merasa bahwa postingan yang diterbitkannya akan ditolerir dan diterima banyak orang, termasuk orang-orang yang tidak menerima ide-idenya di dunia nyata. 

Maka berangkat dari tulisan tersebut, saya mencoba membalik persepsi dan keadaan yang terjadi selama ini, dengan :
1. Mengedepankan penghayatan Ilaahun atas diri sendiri
2. Mengedepankan penghayatan Rabbun atas orang lain

Dengan demikian, maka setiap personal yang sadar akan mencari tahu terlebih dahulu penyebab adanya sebuah postingan, fenomena, dan kejadian-kejadian lain dalam skala besar. Sehingga melahirkan output berupa ide atau pemikiran yang objektif, yang menyelamatkan antar sesama,

Komentar