Banyak orang berkata bahwa hati tak bisa
dibohongi. Tentu yang dimaksud adalah hati nurani. Agaknya ada benarnya juga statement
seperti itu, sebab hati nurani selalu mendapatkan ilham atau signal-signal
positif dari Tuhan. Namun kita tak dapat sepenuhnya percaya dengan kata
hati, sebab kita masih punya nafsu amarah yang sering menyesatkan dan membuat
kita sulit membedakan mana yang ilham mana yang bisikan setan. Sehingga manusia
diberi akal oleh Tuhan sebagai penyeimbang dari nurani dan nafsu tadi. Adapun
akal disokong oleh ilmu-ilmu pengetahuan yang membawa spirit positif dalam
kehidupan.
Dikehidupan sehari-hari kita banyak menjumpai
orang-orang disekeliling kita, atau bahkan kita sendiri kebingungan dalam
menentukan nama atau jenis dari kejadian disekitar kita. Misalnya, ada seorang
yang kaya raya, berduit, dandanan selalu rapi dan bersih, hampir setiap hari
orang tersebut mengeluarkan Rp.50.000 untuk dia berikan kepada orang fakir
miskin yang ia temui, entah di jalan, di terminal, atau di manapun ia
menjumpai. Akan tetapi setiap memberikan uang, ia meminta kepada asistennya
untuk mengabadikan momen sedekahnya itu, untuk kemudian di ulpoad di
akun media sosialnya. Asisten itu manut-manut saja karena memang dia
digaji untuk melayani bosnya. Namun ketika ada orang bertanya tentang apa
maksud dari bosnya melakukan sedekah dengan difoto, kemudian diunggah di media
sosial, si asisten mungkin bisa menjawab, tapi tidak 100% jawabannya benar dan
sesuai dengan isi hati bosnya tersebut. Apakah untuk bersyukur ataukah untuk
pamer ?
Jika
dilihat dengan sudut pandang kuantitatif, maka sebenarnya tidak ada masalah si
bos memberikan uang kepada fakir miskin, kalaupun ada mungkin tidak begitu
bersinggungan dengan nilai dan moral. Sebab memang dalam ajaran agama jika
mempunyai uang atau rejeki berupa sesuatu benda berharga yang bernilai jual,
maka hendaklah dikeluarkan sedekah atau zakatnya. Adapun upload foto ke
akun pribadi di media sosial adalah terkait hak asasi pemilik akun tersebut. Begitulah
kira-kira pandangan cara berpikir kuantitatif untuk fenomena tersebut.
Dari
sudut pandang lain, yakni kacamata kualitatif berbeda pandangan. Bisa jadi
menghasilkan buah pikiran atau respon positif, bisa pula negatif. Sebab dalam
ajaran agama juga diajarkan bahwa ketika seorang hamba memiliki kelebihan, maka
dianjurkan untuk menggunakannya sebagian, serta memberitahukannya kepada orang
lain. Tentu dengan niatan bersyukur kepada Tuhan serta meminta doa agar rejeki
yang ia dapatkan bertambah kebaikannya. Namun sedikit saja bergeser niatan
manusia itu, maka bisa dijadikan alasan bagi Tuhan untuk “menghukumnya”, sebab
segala kebesaran dan kesombongan hanya milik-Nya.
Maka
tidak jarang kita temui bahwa ada orang yang punya banyak kelebihan tapi dari
raut wajah dan sorot mata terlihat bahwa jiwanya tidak tenang, hatinya tidak
tentram. Kemana-mana seakan dihantui perasaan was-was, padahal di banyak
tempat, entah di banner, di media sosial dunia maya, atau ditempat lain
ia terlihat sumeh, dengan wajah yang segar, senyum dan tawa yang ceria
seakan bahagia. Bisa jadi, disana tersimpan “hukuman” Tuhan yang seakan
dilupakannya.
Tapi
disisi lain dari kehidupan ini, banyak juga orang yang selalu memberi semangat
positif. Berbagi kebahagiaan dengan sesama, tentram dirasakan oleh yang
memandangnya. Maka disitu bisa kita lihat, begitu kecilnya masalah baginya
dibandingkan keindahan dan kebaikan Tuhan yang dibawanya. Dari sini bisa kita
simpulkan bahwa niat merupakan salah satu tonggak penentu dalam perjalanan
hidup.
Komentar
Posting Komentar