Akhir-akhir ini di banyak media massa
beredar berita tentang salah satu tokoh di Indonesia yang menjadi tersangka
korupsi dan penistaan. Dalam prosedur penentuan status seorang terdakwa menjadi
tersangka tidaklah mudah dan harus melalui berbagai macam tahapan serta alur
yang berliku. Pun pula disertai dengan bukti-bukti yang dianalisis dari
berbagai sudut pandang. Namun, siapa yang mau disalahkan ? Sebab manusia
memiliki nafsu amarah yang selalu merasa benar. Padahal kita semua tahu bahwa
manusia adalah tempat salah dan dosa, namun ia masih berpeluang besar untuk
menjadi mahluk yang berbuat kebenaran dan kebaikan.
Ada
ungkapan bahwa segala sesuatu dimulai dari diri sendiri. Dan hasil tergantung
dari bagaimana usaha yang dilakukan. Ketika orang merasa dirinya benar, maka
seakan-akan ia adalah kebenaran mutlak dan sejati. Merasa yang lain salah,
merasa yang lain kurang tepat, dst. Dari mindset yang demikian, maka
output yang keluar adalah kesombongan, bangga, pongah, dan akan jatuh di
akhirnya. Sehingga bisa jadi apapun ia lakukan ketika kebusukan yang
dilakukannya tercium dan diketahui banyak orang. Bisa dengan membawa
teori-teori sosial, ekonomi, budaya, politik, hingga agama yang suci dimanfaatkannya
untuk menutupi mindset sampahnya.
Sebenarnya
manusia yang masing-masing memiliki nurani maka hendaknya ada semacam rasa
tidak nyaman, rasa tidak puas, dan tidak pas ketika ia melakukan sebuah
kesalahan. Hati nurani yang selalu mendapat pencerahan dari Tuhan mengatakan
dan bahkan berteriak “tidak” untuk itu. Tapi pendengarannya tertutup oleh nafsu
menggebu yang bergejolak dalam jiwa dan rasio buramnya. Maka, terjadilah perang
dingin dalam dirinya yang mengakibatkan stress dan depresi berlebih, sehingga
seakan ia murung karena memendam perasaan bimbang diam-diam.
Namun
apa hendak dikata ketika kejujuran hati nurani dilawannya dengan keangkuhan
nafsu dan ketinggian ambisi. Ketika ia jatuh dan merendahkan martabatnya dengan
serendah-rendahnya di mata Tuhan dan manusia. Saat itu apapun ia lakukan untuk
menutupi busuk hatinya. Bahkan nama Tuhan dibanya pula. Tapi manusia sudah tak
percaya, seakan semua membenci dan mengutuknya. Ia blingsatan kalang kabut
tidak karuan. Dengan goal terahir dari kebingungannya itu adalah diam
tertunduk mengakui busuknya itu.
Ketika
itu, para manusia yang seakan membencinya telah berada pada puncak kemarahan
dan kebencian. Tapi apakah diperkenankan membenci seseorang, padahal setiap
makhluk Tuhan dikasihi dan disayangi dengan sepenuh hati dan cinta oleh-Nya ?
Hati nurani manusia saat itu merasa iba dan prihatin. Seakan hendak menolongnya
yang terjatuh merasa malu dan segan. Saat itu manusia yang sadar dan mengikuti
nurani memberi rasa iba dan memancarkan cahaya kasih sayang, dan kita harus
percaya itu. Sebab dalam setiap kesulitan dan kesukaran, selalu dibarengi
dengan kemudahan dan kelancaran.
Dalam
memberi rasa iba dan kasih sayang, masing-masing manusia berbeda cara dan
jalannya. Ada yang begini, ada yang begitu, ada pula yang berlebihan. Sehingga
terkesan bahwa ia menuhankan yang dikasihinya. Tapi orang yang dikasihi
berlebihan pula dalam menerima kasih itu, ia menggunakan kesempatan yang baik
itu untuk mengunggulkan dirinya kembali, ia mengatasnamakan kemanusiaan,
kembali menyentuh agama yang dulu dijadikannya tameng kebusukan.
Kiranya
kejujuran terhadap diri sendiri memang begitu urgen dalam kehidupan, sebab dari
kejujuran terhadap diri sendiri itu akan muncul output kejernihan dalam
berfikir, keseimbangan dan kebijakan dalam menentukan sikap, serta ilmu-ilmu
kearifan dalam menyikapi setiap fenomenda dalam kehidupan.
Komentar
Posting Komentar