ISTIQAMAHNYA “DIAM”



Dulu ketika di SD atau MI sering diajarkan peribahasa-peribahasa, sanepan-sanepan, yang salah satunya adalah “Diam itu emas”. Sehingga hal tersebut memicu anak-anak bahwa untuk mendapatkan sesuatu yang berharga tidak dengan banyak bicara, tapi dengan banyak diam dan banyak bekerja. Kalau si anak tetap memegang teguh terus menerus alias istiqamah dalam ‘diamnya’ tersebut, maka kemungkinan 90% dia akan sukses. Pertanyaan yang muncul dalam benak saya, berarti mana yang menyebabkan kesuksesan, diamnya atau istiqamahnya ? Ternyata jawaban yang saya temukan adalah 30% karena diam, 50% karena istiqamah, dan 20% faktor X.
            Belajar darisana, akhir-akhir ini banyak mencuat kegiatan atau gerakan-gerakan di Ibu Kota terkait dengan pilgub, SARA, dsb, yang tidak mencerminkan peribahasa “Diam itu emas”. Jangankan istiqamah, diam saja susah. Keberhasilah gerakan-gerakan tersebut bukan karena istiqamahnya diri sendiri melainkan karena istiqamahnya segelintir orang yang menunggangi mereka. Ada yang istiqamah untuk memegang jabatan, ada yang istiqamah untuk mengeruk kekayaan sebanyak mungkin, dst.
            Untung saja masih banyak orang di negeri ini yang diam-diam dalam diamnya tetap istiqamah menjaga cinta dan kasih sayang yang telah dibangun para pendahulu bangsa ini. Sehingga kemenangan gerakan kelompok yang tidak bisa diam bisa didiamkan secara diam-diam. Adapun penyebab atau faktor intern dari semua itu dari perspektif pelaku gerakan tidak bisa diam adalah :
1.    Terlalu banyak diam dan enggan melakukan research terhadap fenomena-fenomena yang terjadi
2.    Istiqamah dalam pelaksanaan perkumpulan ilmiah diam-diam dihilangkan
3.    Istiqamah dalam melaksanakan poin 1 dan 2
Dalam semua agama pasti diajarkan untuk berprasangka baik terhadap sesama, pun pula jika ada hal-hal yang “salah” diharuskan untuk klarifikasi. Fakta dilapangan menunjukkan jika ada sesuatu yang dirasa salah, langsung menjadi bahan untuk laporan ke pihak berwajib, tanpa research, tanpa kajian ilmiah, tanpa klarifikasi, dst. Anehnya hal tersebut makin istiqamah dilakukan dan banyak pihak yang diam.
Tapi khusnudzon atau positive thinking dari diamnya yang mendiamkan itu adalah mereka diam-diam mempelajari dan mencari data-data primer dan sekundernya. Untuk selanjutnya dijadikan rumusan dan formula-formula, jurus-jurus untuk persiapan fenomena-fenomena yang akan datang. Tinggal satu langkah yakni istiqamah untuk naik anak tangga berikutnya.
Mengacu pada “Diam itu Emas”, dengan pemahaman kualitatif, diam tidak selalu tidak bergerak, tidak ada diam tidak ada bergerak, yang ada adalah diam dalam bergerak, bergerak dalam diam. Emas tidak selalu berkilau dan menyilaukan mata, sebab terkadang emas masih terbungkus lumpur, nempel di pasir, di tanah, dst. Istiqamah bukan berarti terus menerus tanpa istirahat, sedikit istirahat akan membuat kembalinya kesegaran secara diam-diam yang lebih membawa kesehatan dan kejernihan dalam berpikir, bertindak, dst.

Komentar